[caption id="attachment_88321" align="alignleft" width="239" caption="http://tanbihun.com/"][/caption] "Aku adalah matahari dan kamu adalah kuncup melati yang menghiasi taman hatiku" bisikku lembut di telingamu. Tak kudapati tanya di matamu, kau hanya tersenyum malu dan memeluk erat tubuhku, sejenak kukira kau mengerti maksudku. Kulihat rona merah di pipimu hampir sewarna bibir manismu segera setelah pelukan itu berlalu, ah bidadariku, ingin rasanya kau kucumbu sepanjang hidupku. "Jadilah rembulan yang menerangi malamku, bukan matahari, dan aku akan menjadi mawar merah yang merekah di taman hatimu, bukan kuncup melati" pintamu. Kata-katamu segera memenuhi ruang di dada dan kepalaku, menyesakkanku. "Sayangku, bolehkah aku tahu apa yang membuatmu meminta itu?" tanyaku memburu. "Lihatlah rembulan di atas sana, aku begitu mencintainya. Dan mawar merah adalah ungkapan cintaku padanya" jawabmu mesra. "Ya, seperti yang kau minta" aku anggukkan kepala demi melihatmu bahagia. Larut malam memisahkan kita, dan kulirik rembulan di sana tersenyum lega dan bangga dengan cahaya yang bukan miliknya. *** Entah berapa lama waktu yang telah aku buang percuma untuk terus mencoba berpura-pura menjadi rembulan seperti yang kau pinta sedang aku tahu dan mungkin kau pun tahu aku adalah matahari yang sekalipun tak akan bisa menjelma menjadi rembulan dan begitupun rembulan tak pernah akan ada jika matahari tak ada. Entah sudah berapa banyak cahaya yang keberikan pada rembulan agar ia bisa bercahaya dan kau - bidadariku - bisa melihatnya dengan segala bentuk dan rupa yang menjadi temanmu saat malam-malam dimana aku tak akan pernah ada. Bahkan kadang, kala siang datang aku masih saja memberikan cahaya pada rembulan agar ia bisa terlihat dekat denganku demi senyumanmu nan ceria dan bahagia melihat kedua yang kau cinta berjalan bersama. Oo kau bidadriku yang selalu ceria, sungguh aku tak kuasa membuatmu bermuram durja hingga terus aku bersandiwara dan semakin lama aku berpura-pura menjadi dirinya - sang rembulan - maka semakin nyata semua kebaikannya bagimu walaupun sama sekali aku tak berharap kau tahu bahwa sesungguhnya aku hanya berpura-pura dan sejatinya aku hanya mampu berdiri jauh di belakang rembulan dan mendukungnya dengan cahaya yang tak terhitung jumlahnya. Dan bahkan ketika rembulan dengan licik atau mungkin bermaksud baik dengan menutupi cahayaku untuk sampai di bumi tempatmu berada sehingga gerhana di sana dan aku tak mampu berbuat apa-apa, namun tetap saja aku tidak murka karena ingat akan takdirku yang hanya memberikan cahaya - demi bahagia mereka. Dan tentang kuncup melati di taman hati yang kuharap satu saat nanti akan mekar dan mewangi seiring cahaya pagi dari dalam diri, aku anggap hanya sebuah mimpi yang juga akan hilang seiring datangnya pagi dan berganti kenyataan yang harus kuakui bahwa kau adalah mawar merah karena sering kali kurasa ada duri yang menyakiti setiap kali aku coba menghampiri dirimu yang sungguh menarik hati. "Hentikan! Cukup sampai di sini! Kita berhenti! Biarkan aku memilih jalanku sendiri! Jangan pernah berpikir untuk kembali karena aku tidak mencintaimu lagi! Pergi! Kamu hanya matahari yang tak pernah mau peduli! Pergi!" Aku diam, tenggelam, mengiring senja berganti malam yang kian kelam dan kau yang naik pitam. Sempat kulirik rembulan tersenyum penuh kemenangan, tetap dengan cahaya yang penuh kepalsuan. "Kita mungkin telah saling menyakiti. Maaf karena harus berakhir seperti ini. Semoga bahagia segera kalian temui." bisikku mengakhiri. --- 07.03.2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H