Mohon tunggu...
Achmad Faizal
Achmad Faizal Mohon Tunggu... Guru - Pengajar di MA Unggulan Nuris dan Ma'had Aly Nurul Islam Jember

pendidik yang masih terus belajar, memahami, bertindak semampu hati, akal, dan tenaga.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Memulai Kembali yang Bermula dari Hati: Sebuah Bisikan Cinta

9 Januari 2022   22:35 Diperbarui: 9 Januari 2022   23:11 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Awal tahun 2022 menaruh banyak harapan meski entah capaian apa yang telah kita raih selama setahun lalu. Namun demikian, apapun yang telah terjadi, kita tak sepantasnya berlebihan menyalahkan waktu, tetapi yang harus kita pastikan adalah introspeksi diri itu perlu. Ya, hidup ini bukan soal seberapa banyak yang kita capai dalam target-target yang tercatat, melainkan seberapa besar upaya yang telah kita lakukan dalam memperjuangkan prioritas-prioritas yang ingin dicapai.

Kita tak perlu membandingkan capaian kita terhadap capaian orang lain. Toh, walau terpaksa kita harus membandingkannya, itu kita jadikan sebuah motivasi, bukan sebuah perasaan iri dan dengki--nauzubillah. Yang perlu kita mengerti, hidup itu bukan sebuah perlombaan tentang siapa yang paling banyak mendapat 'kebaikan', tetapi soal siapa yang paling banyak melakukan 'kebaikan'.

Hari ini, kita hanya perlu tahu, seberapa pantaskah kita meraih sebuah impian dengan apa yang telah kita upayakan. Jangan hanya memiliki kemauan besar, tetapi nol protol dalam perjuangan meraihnya.

Nah, kesempatan kali ini saya sekadar mengungkapkan suara hati yang bergelinjang. Membuat alarm diri yang terkadang terlupa bahwa diri ini semakin usang digerus waktu. Jika tak ada rasa malu karena waktu habis hanya melamun melulu atau meratapi yang berlalu, maka bukan tak mungkin kehadiran kita di dunia hanya seperti angin lalu. Ia datang, dirasakan embusannya, tak ada warna apalagi rasa, lalu pergi begitu saja seperti di telan bumi.

Teringat pesan hikmah Imam Al Ghazali,  "Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis". Ini masuk akal, andai kita adalah sebentuk angin, kita harus mampu membekas, memberi ruang jejak, memiliki warna, atau memberikan faedah bagi nafas-nafas sesama. Dengan demikian, ya menulislah! Dengan menulis kita seperti angin yang mampu memberikan ruang hidup pada dimensi berbeda.

"Karena menulis adalah jalan keabadian", tegas Sang Maestro Sastrawan bangsa kita, Pramoedya Ananta Toer. Maka, impian keabadian dan memberikan kesan atas hidup kita itu hanya perlu menulis, atau menjadi penulis. Kalau kata Bu Fatim (di grup Whatsapp pegiat literasi Jember), menjadi penulis itu keren. Dari sini, saya mulai kembali menyatakan diri, untuk memulai yang sedari dulu bermula dari hati. Ingin menjadi penulis......yang keren.

Welcoming 2022!!! Kesempatan yang ada, kini saat mewujudkannya.

*Eitss, jangan lupa tesisnya harus segera tuntas. Bisik Istri dalam hati yang tersambung.

sebuah catatan malam Senin. 

     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun