Jarum jam di ruang tamu sudah menunjukkan pukul 21.42 WIB. Malam sudah terasa larut di desa kecilku. Tetapi Kang Doko masih belum beranjak. Ia seperti terpaku duduk di kursi tamu dan tiap sebentar menghela nafas.
” Hanya tinggal satu peluang,” gumamnya.” Nabi bukan, shiddiqin belum, syuhada juga belum. Tinggal solihin.”
” Tidak perlu kecil hati, Kang,” kataku membesarkan hatinya. ” Ini sama sekali bukan akhir dari segalanya. Justru Kang Doko baru memulai perjalanan untuk mengenali diri sendiri. Terus terang, Kang, tidak banyak orang yang seperti Kang Doko. Kebanyakan orang sibuk melihat orang lain, menilai orang lain, bahkan menghakimi orang lain. Sangat jarang orang yang sibuk melihat kekurangannya sendiri, menilai dirinya sendiri dan menghakimi dirinya sendiri. Telunjuknya selalu mengarah ke luar. Cacat dan aib orang dikorek-korek terus, seakan-akan tidak ada tersisa sedikit pun kebaikan pada orang lain. Padahal belum tentu diri sendiri lebih baik dari orang lain.”
Kang Doko tampak menghela nafas. Menghirup teh yang sudah mulai dingin dan menyantap pisang goreng yang ia bawa sendiri dari rumah.
” Aku sungguh bangga bersahabat denganmu, Ji,” katanya.
Aku tersenyum. ” Dikiranya aku tidak bangga bersahabat dengan sampeyan, Kang,” sahutku kemudian. Dan kami pun sama-sama tertawa.
Lama bersahabat dengan Kang Doko menyebabkan aku tahu benar apa yang sedang bergelayut di hatinya. Paling tidak, di usia senja, setiap orang pasti akan dihantui oleh banyak masalah, terutama yang berkaitan dengan kematian, sebab tidak ada seorang pun yang dapat menghindari kematian. Hanya saja, tidak ada seorang pun yang tahu, kapan ia akan mati, di mana dia akan mati dan bagaimana dia mati.
Aku pernah merasakan hal seperti itu yang menyebabkan hidupku gelisah serasa tidak ada kepastian. Kegelisahan serupa itulah yang kini ada di hati Kang Doko, dan sebagai sahabatnya, aku berkewajiban untuk membantunya mencari jati diri insaninya supaya kelak dia akan dapat kembali keharibaan Allah dengan damai.
” Ji,” kata Kang Doko, ” yang dimaksud orang saleh itu bagaimana ?”
Aku menghela nafas. Memperbaiki dudukku. Lalu :
” Kang, dalam bahasa Al Quran, orang saleh itu disebut dengan istilah solihin. Dia disebut solihin, karena dia rajin dan gemar melaksanakan amal saleh”.
” Terus, amal saleh itu apa ?” desak Kang Doko.
” Ya mari kita tanya pada Allah,” kataku.
Kang Doko terkesiap. Memandang aku dengan sorot mata penuh tanda tanya.
” Tidak usah kaget, Kang,” kataku, ” yang aku maksud, mari kita cari jawabannya dalam Al Quran, karena kitab itu adalah pegangan hidup kita, petunjuk hidup kita sehingga kita harus mencari jawabannya di sana.”
” Oooo begitu,” ujar Kang Doko.
” Coba, Kang, dibuka AlQurannya. Lihat surat ke-18, surat Al-Kahfi ayat 110, lalu bacalah terjemahnya saja.”
Kang Doko membacanya : ” Katakanlah, ”sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Esa”.
” Berhenti dulu, Kang,” kataku sebelum Kang Doko membaca lanjutan terjemah ayat itu. ” Membaca terjemah itu, apa yang Kang Doko pikirkan.”
Ia membaca lagi terjemah penggalan ayat itu. Lalu merenung. Memikirkannya. Akhirnya ia menggeleng.
” Kang, yang Kang Doko baca tadi adalah perintah Tuhan kepada Nabi Muhammad saw yang menerima wahyu itu. Allah memerintahkan supaya Nabi Muhammad saw memberitahu umatnya bahwa dia itu manusia biasa, bukan superman. Karena ia manusia biasa, maka ia bisa sakit, bisa merasa sedih, bisa merasa gembira, bisa merasa lapar dll seperti kita juga. Satu-satunya perbedaan Nabi Muhammad saw dengan kita adalah dia menerima wahyu dan kita tidak. Dan wahyu yang disampaikan Allah adalah pemberitahuan bahwa Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Esa. Artinya, Tuhan itu esa, tunggal, dan itu adalah Tuhannya umat manusia yang mengatur alam semesta ini. Tidak ada Tuhan selain Allah.”
Kang Doko diam. Mendengarkan dengan cermat.
” Ayat ini sungguh indah,” kataku. ” Sebelum Allah memberitahukan pengertian amal saleh,Dia terlebih dahulu memberitahukan kepada manusia bahwa Dia adalah Maha Tunggal. Dialah Tuhan seluruh alam semesta. Alur informasi yang disusun sangat runtut dan mudah dicerna. Kang ... coba dibaca lanjutannya.”
Kang Doko membaca lanjutannya. ” Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepadaNya”.
Aku memandang Kong Doko yang baru saja selesai membaca terjemahan ayat itu. Aku ingin tahu, apakah Kang Doko menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri tentang apakah yang dimaksud dengan amal saleh.
” Itu jawaban atas pertanyaanmu, Kang,” kataku setelah lama Kang Doko diam. Dia menatap aku dengan penuh tanda tanya. ” Lho, lanjutan ayat itu kan menjelaskan tentang apa itu amal saleh. Coba Kang Doko menyusun definisi amal saleh dari terjemah ayat yang baru saja dibaca.”
Berkali-kali Kang Doko membaca terjemah barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepadaNya, namun tampaknya Kang Doko tidak juga dapat menemukan definisi amal saleh.
Maka aku coba untuk menunjukkannya. ” Coba Kang, kita baca pelan-pelan ya. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh. Apa yang terfikir olehmu, Kang ?”
Kang Doko seperti terbangun dari tidur. Punggungnya tidak lagi ia sandarkan di sandaran kursi.” Jadi,” katanya kemudian,” kalau begitu amal saleh adalah laku yang harus dikerjakan oleh orang yang mengharap perjumpaan dengan Tuhan ?”.
Aku hanya mengangguk pelan. Memandang Kang Doko.
”Apa mungkin orang dapat berjumpa dengan Tuhan ?” gumam Kang Doko.*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H