Setelah cukup lama menunggu, akhirnya aku harus mengakui, Kang Doko memang hebat. Dia benar-benar berusaha memerdekakan akal fikirannya untuk mencermati ayat Allah. Dia pun tidak ragu-ragu untuk menyatakan pendapatnya.
” Ji,” katanya, ” dalam penggalan ayat ini aku mencermati dua kata kunci, yaitu disesatkanNya dan penunjuk jalan. Dua kata kunci ini menarik perhatianku.”
” Mengapa ?”
” Karena, orang yang tersesat adalah orang yang tidak tahu jalan. Lalu, jika orang itu sadar bahwa dia tidak tahu jalan, maka dia akan berusaha bertanya kepada orang yang dapat menunjukkan jalan, sehingga dia tidak tersesat lagi.”
Aku tertawa. ” Hebat kamu, Kang,” kataku.” Ini baru namanya Kang Doko sahabatku yang cerdas pantang menyerah dan merdeka.”
Kang Doko tidak dapat menyembunyikan rasa gembiranya. Bukan saja karena ia dapat menjawab pertanyaanku, melainkan yang lebih penting adalah, dia kini sadar betapa pentingnya menjadi orang yang merdeka akal fikiran dan kehendaknya. Merdeka dari penjajahan diri sendiri dan penjajahan orang lain.
” Sekarang aku sadar, Ji, agama memang menghendaki kemerdekaan akal, fikiran dan kehendak. Tanpa kemerdekaan itu, mana mungkin manusia dapat memahami ayat-ayat Tuhan ?”
” Kenapa begitu, Kang. Kan kita bisa mendengarkan ceramah dan menjadi pengikut ulama atau mazhab-mazhab besar ?”
” Memang bisa, Ji, tetapi cara itu juga mengandung resiko.”
” Maksud, Kang Doko?”
” Ya, kita akhirnya hanya akan menjadi pengikut atau ekor belaka. Ke mana si kepala berjalan, si ekor pasti mengikuti. Jika si kepala masuk jurang, si ekor pun ikut masuk jurang.”
Aku tertawa mendengar metafora Kang Doko, karena memang kebanyakan manusia seperti itu. Hanya sekedar percaya dan mengikuti apa kata Ustad, apa kata Kyai. Memang benar, apa yang keluar dari mulut mereka adalah ayat-ayat Al Quran atau cuplikan hadist Nabi. Tetapi mereka tidak mau bertanya. Bagaimana mereka mau bertanya jika dia berada di tengah-tengah satu juta umat mendengarkan ceramah sang Ustad ?
” Terus apa yang mau sampeyan lakukan, Kang ?” tanyaku kemudian.
” Itulah yang aku belum tahu.”
” Masa sih, Kang ?”
” Bener, Ji,” sahutnya membela diri.
” Lha, tadi kan Kang Doko sudah punya dua kata kunci, yaitu disesatkanNya dan penunjuk jalan. Masa sampeyan tidak tahu harus berbuat apa ?”
” Astaghfirullah-hal-adziiim,” seru Kang Doko seperti tersadar dari kealpaannya sendiri. ” Ya, aku ingat. Jadi .... aku harus mencari seorang penunjuk jalan. Begitu, Ji ?”
Aku mengangguk. Kang Doko mengernyitkan keningnya. Tampak gurat-gurat wajah pensiunannya makin kentara. Aku tahu. Ada sesuatu yang tiba-tiba mengganjal pikirannya.
” Kenapa, Kang ?” tanyaku.” Aneh ya ?”
” Betul, Ji,” jawabnya jujur. ” Selama ini aku hanya tahu, kalau mau belajar agama ya pada ustad atau kyai atau guru ngaji. Aku tidak pernah mendengar orang menyuruhku untuk mencari seorang penunjuk jalan.”
Aku tersenyum.
” Begini ya, Kang,” aku mencoba menjelaskan. ” Sebenarnya setiap kali kita salat, ada satu permintaan penting yang selalu kita sampaikan kepada Tuhan. Tujuhbelas kali dalam sehari, Kang. Itu minimal, jika kita hanya mengerjakan salat fardhu saja. Sampeyan tentu tahu apa permintaan itu kan ?”
” Ya. Permohonan supaya Allah menunjukkan jalan yang lurus atau shiratalmustaqim.”
” Lalu, Kang Doko tahu, apa itu shiratalmustaqim ? Kaya apa itu shirathalmustaqim dan di mana letaknya itu shirathalmustaqim ?”
” Shirathalmustaqim ya Islam, Ji.”
” Dan Kang Doko tahu apa itu Islam?”
” Islam itu ya agama yang kita peluk, Ji.”
” Dan Kang Doko tahu apa itu agama ?”
Kang Doko terdiam.
Aku tersenyum.
Lalu kukatakan :
” Kang, agama itu islam, dan islam itu adalah kepasrahan secara total kepada Allah, bukan nama agama, tetapi sikap. Nah, bagaimana kita dapat pasrah total kepada Allah jika kita belum mengenal Allah ? Bagaimana kita dapat mengenal Allah jika kita belum dapat menemukan shirathalmustaqim ?”
Kang Doko masih diam.
” Itulah sebabnya, al-fatihah menjadi salah satu rukun salat.” kataku. ” Tidak sah salat seseorang yang tidak membaca al-fatihah. Dan di dalam al-fatihah itu kita meminta kepada Allah supaya Dia menunjukkan jalan yang lurus. Ini terus diulang-ulang menurut banyaknya rakaat salat, sehingga sebenarnya ini merupakan ujian dari Allah, apakah kita memperhatikan ayatNya atau tidak. Jika kita memperhatikan ayatNya, semestinya kita lalu melakukan action, atau menindaklanjuti. Jika kita tidak menindaklanjuti, maka itu artinya kita tidak memperhatikan ayatNya.”
” Dan seorang penunjuk jalan itu tahu di mana shirathalmustaqim itu, Ji ?” tanya Kang Doko penuh selidik.
Aku tersenyum memandang Kang Doko.
” Aku minta kamu jangan bermain teka-teki, Ji,” desak Kang Doko.*****
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI