Mohon tunggu...
Fatchurrachman Soehari
Fatchurrachman Soehari Mohon Tunggu... -

Fatchurrachman, lahir di Purwokerto 16 Februari 1950, aktif menulis terutama tentang spiritual dan humanisme setelah pensiun tahun 2006, setelah aktif selama 36 tahun di RRI. Selain menulis di blog pribadinya http://fatchurrachman.blogspot.com dan blog berbahasa Banyumasan http://blangkon.kecut.blog.plasa.com, aktif berceramah tentang spiritualisme, humanisme dan kesetaraan. Tinggal di desa Purwosari, Kecamatan Baturaden, Banyumas.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kang Doko Mencari Tuhan (13)

20 November 2009   22:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:15 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Rupanya Kang Doko – dan seharusnya setiap manusia – sangat memperhatikan pernyataan Allah ”karena sesungguhnyaa bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada”(QS 22:46). Bagi setiap orang yang dikaruniai penglihatan oleh Allah, tentu ia dapat membayangkan, alangkah repotnya jika penglihatan itu kemudian diambil olehNya. Tidak ada orang yang rela menjadi buta setelah ia dapat melihat.

Tetapi dalam ayat itu Allah menyebut bukan mata itu yang buta, artinya bukan mata kepala ini yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada. Ini sebuah isyarat yang sangat jelas, bahwa Allah memberikan karunia dua pasang mata kepada manusia, yakni sepasang mata lahir atau lazim disebut mata kepala, dan sepasang lagi mata hati atau mata qolbu atau boleh juga disebut sebagai mata batin.

” Jadi,” kata Kang Doko, ” kedua pasang mata itu masing-masing punya fungsi ya, Ji ?”

” Iya, Kang. Mata lahir atau lazim disebut mata kepala untuk melihat hal-hal yang bersifat lahir. Sedangkan mata hati atau mata batin, untuk melihat hal-hal yang bersifat batin atau rohani. Jika kedua pasang mata itu berfungsi dengan baik, maka manusia akan dapat membenarkan pernyataan Allah Dialah Yang Zahir dan Dialah Yang Batin atau dalam bahasa Al Quran Huwa al-dhohiru wal bathin. Pernyataan itu, bagi orang-orang yang telah mengenal Tuhan, tidak lagi sekedar jargon atau wacana, melainkan sesuatu yang nyata, benar dan wajib diimani karena mereka telah mengenalNya dengan Dia.”

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Kang Doko berkata, ” Sekarang aku paham dengan kata-katamu, Ji, bukan Allahnya yang tidak tampak, tetapi matakulah yang terhijab. Dan ... ngomong-ngomong, apakah manusia sejenis aku ini banyak, Ji ?”

Aku tersenyum, ” Kang,” kataku, ” tidak usahlah memikirkan orang lain dahulu, sekarang ini yang penting pikirkanlah diri sendiri dulu. Allah memerintahkan ”selamatkan dirimu dan keluargamu dari siksa neraka”. Nah, di situ perintah itu diawali dengan dirimu, baru setelah itu keluargamu. Artinya, orang yang bisa menyelamatkan keluarganya adalah dia yang telah menyelamatkan dirinya sendiri dulu.”

” Nanti dikira egois, Ji,” protes Kang Doko.

” Bukan egois, Kang. Ini memang soal individu antara sampeyan sama Allah, ya harus sampeyan selesaikan dulu. Hablumminallah disempurnakan dahulu, baru kemudian kita tengok kanan-kiri. Keluarga harus kita dahulukan dibandingkan dengan tetangga dan masyarakat. Setelah keluarga selamat, barulah memikirkan masyarakat. Itu hablumminannas. Jika diibaratkan, hablumminallah itu pohon, maka hablumminannas itu buahnya. Jangan dibalik.”

” O pantas, Allah selalu mengibaratkan orang beriman itu laksana pohon yang pucuknya menjulang sampai ke langit, dan akarnya menghunjam ke dalam tanah. Orang beriman itu selalu berhubungan dengan langit sehingga memberi manfaat kepada bumi.”

” Nah ... sampeyan memang jagonya Kang kalau membuat istilah-istilah seperti itu,” kataku sambil ketawa.

Kang Doko tertawa renyah.

” Lalu,” ujar Kang Doko kemudian. ” Jika mata hatiku atau mata batinku ini masih terhijab, Ji, apakah ada cara untuk membuat hijab itu terbuka ?”

” Ada, Kang.”

” Bagaimana caranya ?”

” Sabar, Kang, jangan terburu-buru, mengalirlah bersama Allah. Pada waktunya nanti sampeyan akan sampai juga ke sana. Sekarang yang paling penting bagi Kang Doko adalah memperkuat keyakinan dan membulatkan tekad untuk meraih apa yang ingin sampeyan raih.”

” Tetapi berusaha supaya mata batin itu mampu melihat itu kan wajib, Ji ?”

” Ya wajib, Kang. Apalagi jika Kang Doko membaca ayat lainnya. Silakan dibuka Al Quran surat ke-17 Al Isra ayat 72, Kang.”

Kang Doko membaca terjemah ayat itu : ”Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)” (QS 17:72).

Kang Doko tercenung. Ia kini makin merasakan betapa selama ini telah melalaikan hal yang amat penting dalam perjalanan hidupnya. Ia berterus terang kepadaku, selama ini ia merasa cukup dengan mendengarkan pengajian-pengajian di masjelis taklim yang tersebar hampir di setiap masjid. Mendengarkan ustadnya berceramah, mencatat hal yang dianggapnya penting. Membaca buku-buku tulisan para ulama besar di seluruh dunia. Dengan itu dia merasa telah memahami agama dengan benar.

” Ternyata, agama lebih luas dari itu ya, Ji,” katanya.

” Mendengarkan ceramah ya baik, Kang. Begitu pula datang di majelis taklim pun baik. Membaca buku-buku karya ulama besar juga baik. Tetapi yang harus sampeyan raih adalah, adakah perubahan paradigma berpikir sampeyan itu terjadi setelah mendengarkan ceramah, datang ke majelis taklim atau membaca berbagai kitab itu, atau tidak ? Perubahan itu harus terjadi dalam pola pikir lebih dulu, agar pola tindakan sampeyan juga ikut berubah, Kang. Sebab, ada kajian-kajian yang menyebabkan orang menjadi keras kepala, merasa paling benar sendiri dan menganggap orang lain salah semuanya.”

Kang Doko mengangguk.

” Nabi Muhammad saw dalam menyebarkan Islam lebih banyak dilakukan dengan cara berdialog seperti ini. Berbicara dari hati ke hati, mengajak orang lain berfikir dan merenung. Nabi tidak pernah, atau katakanlah jarang sekali, mengadakan pengajian akbar atau tablig akbar. Yang beliau lakukan adalah membuka komunikasi individual dengan para sahabatnya, sehingga beliau paham benar karakter sahabatnya, kekuatan dan kelemahan mereka, keunggulan masing-masing sahabatnya, sehingga ketika beliau merasa perlu melakukan ekspansi dakwah yang lebih luas, beliau memilih sahabat-sahabat yang sesuai dengan medan tugas dan karakter khalayak yang hendak dipilihnya. Mereka, sahabat-sahabat yang dipilih itu pun, melakukan metode dakwah yang sama dengan Nabi. Dimulai dengan mengenalkan Allah kepada manusia, Allah Yang Maha Esa. Manusia diajak untuk bertauhid dengan Allah lebih dulu. Baru setelah itu hal-hal lain yang dibicarakan.”

” Mengapa mengenal Allah didahulukan, Ji ?”

” Karena itu modal, Kang. Begitu orang mengenal Allah, bertauhid, maka dia akan mencampakkan hal-hal lain sebagai tujuan hidupnya. Hanya Allah saja tujuan hidupnya. Tanpa itu, hidup akan percuma dan sia-sia.”

Kang Doko mengangguk. ” Padahal kalau aku perhatikan, sekarang ini segala kegiatan selalu diberi label akbar atau kubro ya, Ji,” celetuk Kang Doko.*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun