Menjadi rakyat kecil, ternyata enak juga, daripada menjadi pemimpin. Terserah mau disebut apa, rakyat kecil tetaplah rakyat kecil. Disebut orang kebanyakan, juga rakyat kecil. Disebut ordinary people, biar kelihatan keren pakai bahasa Inggris, tetap saja rakyat kecil. Disebut kaum dhuafa, biar kelihatan agamis, juga tetap rakyat kecil. Disebut wong cilik, biar kelihatan peduli pada kearifan lokal, tetap saja rakyat kecil. Tempatnya ya di situ-situ saja, keadaannya juga begitu-begitu saja.
Tidak ada yang memperhatikan kehidupannya, alias tidak peduli apa yang terjadi pada rakyat kecil. Bahkan ketika nama rakyat kecil dicatut, tidak ada yang berteriak mau melakukan somasi. Coba saja kita lihat di sekitar kita, terutama di ranah politik, betapa banyak mulut politisi dari partai-partai yang mencatut nama rakyat kecil untuk mencapai tujuan mereka. Ada yang berteriak protes ? Rasanya tidak ada, karena yang suka protes itu politisi atau paling tidak orang-orang yang memiliki ambisi politik walaupun tersembunyi, maka bagaimana mungkin mereka akan protes ketika nama rakyat kecil dicatut tiap hari ?
Siapa yang siap melayangkan somasi menuntut para politisi yang selama bertahun-tahun mencatut nama rakyat kecil untuk kepentingan dan keuntungan pribadi mereka ? Dijamin tidak ada yang berani. Bahkan para pengacara kondang saja belum tentu berani. Atau biar sedikit lebih santun, tidak ada yang mau, karena rakyat kecil tidak dapat membayar, dan karena media pun tidak mau memberitakan. Lha wong cuma urusan rakyat kecil koq. Tidak ada news valuenya, begitu.
Padahal para pemimpin, dari yang berada di tempat yang paling tinggi sampai pemimpin ècèk-ècèk, dengan mudah mencatut nama rakyat kecil. Mereka semua berteriak, mari kita perbaiki nasib rakyat kecil. Padahal maksudnya tolong bantu saya mendapatkan fasilitas sehingga saya dapat memperbaiki nasib saya. Yang semula hanya penggembira di partai, kemudian naik posisi menjadi pengurus, naik posisi lagi jadi anggota dewan, naik posisi lagi jadi menteri, naik posisi lagi jadi presiden dstnya. Maka tidak mengherankan, jika di partai ini kesempatan itu tertutup, maka dia akan loncat ke partai lain, di partai lain tertutup lagi, maka dia akan loncat lagi ke partai lainnya lagi. Jadilah partai itu menjadi semacam sawah yang dipenuhi kutu loncat. Sekali lagi, yang dicatut juga nama rakyat kecil.
Tetapi adakah rakyat kecil yang berani mencatut nama pemimpin ? Hanya orang bernyali besar dan berpengaruh saja yang berani. Jika hanya sekedar manusia gurem, dalam waktu cepat akan dibekuk, karena seluruh aparat keamanan, media massa dan para politisi akan sama-sama berteriak dengan riuh rendah. Wong hanya sekedar mengaku kerabat pak lurah saja, sudah ramai-ramai digelandang. Hanya sekedar memakai atribut partai atau aparat untuk mendapatkan sedikit fasilitas materi saja karena dia tidak memiliki pekerjaan, dalam waktu singkat segera dapat ditangkap, sering bukan karena kesigapan aparat, melainkan karena kesigapan rakyat kecil melaporkan kepada aparat. Coba kalau rakyat tidak lapor ?
Jadi sebenarnya, siapa yang menjaga siapa ? Biarlah suara kejujuran hati yang menjawab.
Sekarang, ketika rakyat berharap pemerintah segera bekerja berhubung kasus Bank Century sudah ditangani oleh pansus, eh, muncul lagi masalah tukang catut. Bukan rakyat yang dicatut, tetapi pemimpin yang dicatut. Terang saja, jagad pun gonjang-ganjing. Padahal rakyat mah moal mikir, kata tetangga yang orang Sunda. Mau ada gurita atau ikan paus, terserah saja lah. Yang jadi kepentingan rakyat adalah bukti nyata bahwa para pemimpin bekerja memperbaiki keadaan bangsa dan negara, bukan sekedar mengurus nasibnya sendiri.
Soalnya, rakyat kecil juga masih belum lupa koq, ketika ramai diputar rekaman percakapan soal cicak-buaya, ada juga terdengar nama yang dicatut dan reaksinya juga tidak heboh-heboh amat. Walaupun ada yang mengaku ”mewakili” rakyat supaya orang yang terdengar suaranya itu disomasi, dan tidak ada somasi juga sampai hari ini. Rakyat kecil pun berfikir oh, dia sudah mulai tahu rupanya, dia rela menjadi ”korban” demi rakyat kecil. Biarlah dihujat kanan kiri, tidak apa-apa, saya mau bekerja untuk mewujudkan harapan rakyat yang namanya dulu pernah dicatut juga.
Lho koq berubah lagi, ketika cicak-buaya berubah menjadi gurita ? Tetanggaku di desa kecil di kaki gunung Slamet pun ngudarasa dalam bahasa lokal mereka angger kaya kiye ya ngalamat ora ketungkul nyambut gawe, gubes maning (kalau begini ya alamat tidak akan kunjung bekerja, ribut lagi). Ya, paling-paling hanya seperti itu rakyat bereaksi. Yang bereaksinya berlebih-lebihan itu kan mereka yang menyimpan tujuan dan ambisi tertentu. Rakyat kecil akan kembali pada kesibukan hariannya. Mencangkul sawah, mengayuh sepeda pergi ke pasar, teriak-teriak di atas bis mencari penumpang, ada juga yang mencopet di kerumunan orang ramai. Semuanya dilakukan untuk menghidupi anak isteri. Sama seperti para pemimpin. Bedanya, mereka berani mencatut nama rakyat, tetapi rakyat tidak bakalan berani mencatut nama pemimpin.*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H