Mohon tunggu...
Fatchurrachman Soehari
Fatchurrachman Soehari Mohon Tunggu... -

Fatchurrachman, lahir di Purwokerto 16 Februari 1950, aktif menulis terutama tentang spiritual dan humanisme setelah pensiun tahun 2006, setelah aktif selama 36 tahun di RRI. Selain menulis di blog pribadinya http://fatchurrachman.blogspot.com dan blog berbahasa Banyumasan http://blangkon.kecut.blog.plasa.com, aktif berceramah tentang spiritualisme, humanisme dan kesetaraan. Tinggal di desa Purwosari, Kecamatan Baturaden, Banyumas.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Matahari Emak (4)

21 November 2010   22:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:25 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

2

E

mak benar-benar perempuan yang luarbiasa. Sama luarbiasanya dengan Bapak. Hanya bedanya, Emak tampaknya lebih suka membiarkan peranannya berjalan alami. Tidak gemuruh atau riuh rendah sebagaimana Bapak yang selalu mendatangkan kejutan dengan ide-idenya yang cemerlang. Ketika Bapak dan Emak dating ke rumah Bobosan, aku masih belum dapat memahami apa yang sebenarnya terjadi. Aku hanya merasakan hal yang menyenangkan karena sekarang aku dapat bermain bersama Kakak dan Adik-adikku. Kemudian membantu Emak yang membuka warung di rumah berjualan kebutuhan harian. Jadi ada kegiatan buka tutup warung setiap pagi dan petang. Aku sama sekali tidak mengerti, mengapa Bapak tidak kembali lagi ke Cirebon, bahkan sekarang bersama-sama Emak berjualan kebutuhan pokok. Beras, minyak, gula, garam bahkan kayu bakar. Aku juga tidak tahu, ide siapa usaha itu. Aku hanya melihat Emaklah yang sibuk berjualan. Kadang-kadang juga kulakan barang dagangan ke pasar besar di kota yang belakangan aku ketahui namanya Pasar Wage. Di pasar itu, Emak punya langganan belanja yaitu kepada Babah Kho Kim Bing yang berjualan rokok, sabun mandi, sabun cuci dan pasta gigi.

Bapak pun bekerja membantu Emak. Tetapi dia lebih sering pergi ke luar rumah untuk suatu urusan pekerjaan. Aku tidak tahu, apa pekerjaan yang dilakukan oleh Bapak. Tetapi dia sering sekali mengerjakan sesuatu di rumah. Mengetik dengan mesin tik besar yang dibawa dari Cirebon. Kadang-kadang aku suka bermain-main dengan mesin tik itu.

“Ngetik apa kamu,” Bapak pernah begitu kepadaku. Aku tak berani menjawab. Tetapi kadang-kadang jika aku sedang marah, sedih, kecewa atau sedang gembira, aku mengetiknya di selembar kertas. Aku senang dengan kebiasaan itu.

Pada suatu ketika, Bapak datang dengan seseorang. Mereka berdua melihat-lihat halaman belakang. Entah apa yang mereka bicarakan. Tetapi keesokan harinya, orang itu datang bersama dua orang temannya. Tidak lama kemudian mereka mencangkul tanah. Membuat lubang. Tidak lama kemudian, datang truk mengantarkan batu kali dan pasir. Setelah dibongkar, truk itu kemudian pergi. Tetapi satu jam kemudian, truk itu datang lagi. Kali ini membawa batu bata, dan kapur. Barulah kemudian aku tahu, rupanya Bapak akan membuat sebuah ruangan yang cukup besar. Rupanya, ruangan itu kemudian dipakai untuk dapur pengolahan kacang asin.

Itulah awalnya Bapak punya pabrik kacang asin. Aku lihat, Emak tidak ikut campur dengan urusan pabrik. Bapak yang mengurus. Mulai membeli kacang mentahnya, kemudian mengurus orang-orang yang bekerja. Rumah kami jadi makin ramai. Ketika aku menanyakan kepada Emak, mengapa tampaknya dia tidak begitu antusias mendorong usaha Bapak, Emak hanya menjawab pelan, “Aku lebih tahu, Bapakmu”, katanya.

Lalu Emak bercerita panjang mengenai Bapak.

Ahmad sebenarnya seorang yang sangat enerjik, memiliki banyak ide, bahkan menurut Emak cenderung terlalu banyak ide. Semua idenya cemerlang.

“Aku akan menjadikan usaha batik Ibuku lebih maju,” kata Ahmad suatu hari. Ibu yang dimaksud oleh Ahmad adalah Bulik Masirah yang memang memiliki usaha batik. Pekerjanya cukup banyak. Tetapi tidak kunjung maju, karena selalu terdesak oleh pemilik modal yang mengenakan bunga mencekik.

“Bagaimana caranya ?” tanyaku.

“ Aku sudah mempelajarinya cukup lama. Banyak pembatik yang nyatanya cuma menjadi buruh dari orang-orang yang punya duit. Mereka dikasih lilin, canthing, kain dan alat-alat batik. Tetapi mereka kemudian harus menjual hasil batikannya kepada mereka dengan harga yang mereka atur,” Ahmad menerangkannya padaku.

“Ini tidak adil,” katanya lagi. “karena pemilik uang itu dapat menjual hasil batikan itu kepada pembeli dengan harga yang tinggi. Keuntungan mereka terlalu banyak.”

Aku tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Ahmad. Aku hanya mendengarkan, karena dia tidak suka kalau ada orang yang menyela bicaranya. Tetapi makin panjang dia bicara tentang sistem dagang yang tidak adil, kepalaku sebenarnya mulai pusing. Tetapi aku tidak ingin dia kecewa. Maka aku terus mendengarkan ucapannya.

“Aku akan menyatukan para pembatik dalam sebuah koperasi,” katanya berapi-api.

Dan setelah itu, aku lihat berhari-hari Ahmad sibuk sekali. Dia mulai mengumpulkan para pembatik. Diajarinya mereka suatu cara berusaha yang lebih tertata. “Kalau modal memang menjadi masalah,” kata Ahmad, “maka bukan menyerahkan bulat-bulat semua urusan kepada para pemilik modal. Jika cara itu yang ditempuh, maka kalian akan menjadi pecundang seumur-umur”.

Aku tidak dapat menghitung, berapa kali para pembatik itu berkumpul di rumah Bulik Masirah membahas langkah-langkah yang akan ditempuh bersama. “Ini semua adalah perjuangan kita bersama untuk memperbaiki nasib,” kata Ahmad memberikan motivasi kepada para pembatik. “Tidak ada keberhasilan yang datang sendiri. Kita sendiri yang harus meraih keberhasilan dengan tangan kita sendiri. Aku akan membantu Bapak-bapak dan Ibu-ibu dengan kemampuan yang ada pada diriku”.

Sebenarnya, bukan berarti Ahmad sudah punya duit, tetapi dia memiliki keahlian yang jarak dimiliki oleh orang lain pada masa itu. Entah bagaimana awalnya, aku tidak tahu, Ahmad tiba-tiba memiliki hubungan dengan pabrik kain di kota Pekalongan, sehingga dia dapat mendatangkan kain dengan harga yang lebih murah dari harga yang diberikan oleh para penjual kain di Purwokerto. Bahkan para pengusaha kain di Pekalongan senang sekali karena ternyata kain itu untuk memproduksi batik khas Banyumasan. Mereka menyatakan dapat menerima hasil batikan Banyumasan untuk dipasarkan di Pekalongan dan pada langganan mereka di kota lain. Maka, para pembatik yang dikumpulkan oleh Ahmad, semuanya mengambil kain padanya dan hasil batikannya juga dipasarkan oleh Ahmad yang kini telah memiliki jaringan di Pekalongan, Pekajangan sampai Cirebon.

Keahlian Ahmad di bidang pemasaran inilah yang kemudian mengantarkannya terpilih menjadi manajer Gabungan Koperasi Batik Indonesia di Cirebon. “Kamu masih kecil, belum lagi berumur satu tahun,” kata Emak mengakhiri ceritanya.

Aku memang tidak tahu, kapan Bapak, Emak dan Tofik, kakakku, pindah ke Cirebon karena aku memang masih terlalu kecil. “Tetapi kepindahan ke Cirebon itu bukan tanpa masalah,” kata Emak.

“Kenapa, Mak ?” tanyaku.

Emal menghela nafas. Pandangannya jauh entah ke mana. Tetapi aku tahu, dia sedang merangkai banyak peristiwa yang telah dilaluinya untuk diceritakan kepadaku.

Aku ini anak ontang-anting. Maka ketika Ahmad berpamitan akan membawa aku dan Tofik pindah ke Cirebon, Bapak pun naik pitam.

“Tidak bisa,” kata Bapak. “dia harus tetap berada di sini”.

“Kenapa tidak bisa, Pak,” sergah Ahmad.

“Aku pindah dari Batutulis ke Purwokerto ini karena aku tidak tega membiarkan dia sendiri,” Bapak berusaha menjelaskan. “Selama ini dia sangat tergantung kepada aku dan Ibunya. Makanya, aku melarang dia ikut kamu ke Cirebon”.

“Ya tidak bisa begitu, Pak,” sahut Ahmad. “Dia kan isteriku”.

“Kamu mau melawan Bapak ?” sergah Bapak sambil mencengkeram kerah baju Ahmad. “Atau kamu ingin merasakan bogem mentah Bapak”.

“Bapak jangan pukul dia,” kataku sambil mendorong Bapak. Aku berdiri antara Bapak dan Ahmad. “Bapak boleh pukul aku, jangan Ahmad.”

Bapak memandangku. “Apa Bapak lupa,” tanyaku kemudian, “dulu ketika kami menikah oleh Pak Pengulu sudah diberitahu, ketaatan wanita setelah menikah, pertama-tama adalah kepada suaminya. Baru kepada kedua orangtuanya. Aku isteri Ahmad, maka aku harus taat kepadanya. Jika dia mengajakku pindah ke Cirebon, aku akan ikut ke sana.”

Bapak menunduk. Mendekati aku. Memelukku erat. Sejurus kemudian, Bapak menghampiri Ahmad. “Bapak minta maaf, Mad,” katanya. “Kamu boleh membawa isterimu dan Tofik ke Cirebon. Tapi Bapak minta, anakmu yang kedua tinggal bersama Bapak dan Ibu di sini”.

Ahmad mencium tangan Bapak. “Aku juga minta maaf, Pak,” katanya. “Tadi aku emosi sehingga bersikap kurang sopan.”

“Tidak apa-apa”.

“Fat akan aku tinggal di sini bersama Bapak dan Ibu,” kata Ahmad.

Emak meneteskan airmata ketika menceritakan orang-orang yang sangat dia sayangi. Satu lelaki adalah suaminya, dan lelaki yang lain adalah Bapaknya. Tetapi, cerita Emak menyadarkan aku tentang kesetiaan dan kebaktian seorang wanita. Bagiku, sikap Emak adalah teladan yang sulit dicari tandingannya. Sehingga tanpa aku sadari, sosok Emak menjadi idola dan gambaran isteri ideal bagiku. Aku ingin mencari isteri yang sikap, kebaktian dan kesetiaannya seperti Emak. (bersambung)




Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun