Aku merasa, kini sudah tiba waktunya bagiku untuk mengajak Kang Doko melakukan perjalanan lebih jauh. Ia sudah menyadari sepenuhnya bahwa dirinya tidak akan pernah mengetahui apa itu shirathalmustaqim, di mana shirathalmustaqim itu dan bagaimana cara menempuh perjalanan di shirathalmustaqim.
” Kang,” kataku kemudian.” Kalau Kang Doko bertanya, apakah seorang penunjuk jalan itu tahu di mana shirathalmustaqim, maka jawabannya sudah jelas. Bukan seorang penunjuk jalan, jika dia tidak tahu jalan. Maka dia disebut sebagai penunjuk jalan, yang dalam bahasa Al Quran disebut waliyam-mursyida, atau wali-mursyid. Dan sosok ini pula yang dicari oleh Nabi Musa as dalam perjalanannya mencari ilmu. Allah menggambarkannya dengan sangat indah, Kang ... coba saja dibuka Al Quran surat ke-18 Al-Kahfi ayat 65.”
Seperti biasa, Kang Doko membaca terjemahan ayat tersebut, ”Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (QS 17:65).
Kang Doko menghela nafas. Lalu aku ajak dia merenungkan ayat itu.
” Coba perhatikan, Kang,” kataku, ”bagian kalimat yang berbunyi seorang hamba di antara hamba-hamba Kami. Bukankah itu sebuah penjelasan bahwa ada hamba-hamba Allah yang dipilih untuk menjadi penunjuk jalanNya. Hamba yang dipilih oleh Allah itu telah mendapat rahmat dari sisi Allah, dan, telah mendapatkan ilmu yang diajarkan langsung oleh Allah.”
” Tetapi, Ji, apa dia itu yang dinamakan Nabi Khidir ?”
” Umumnya orang-orang menyebutnya begitu, Kang, walaupun sebenarnya dalam teks ayat sama sekali tidak menyebutkan nama. Ayat Al Quran hanya menyebutkan ciri-cirinya saja, yaitu seorang hamba yang telah mendapat rahmat dari sisi Allah dan telah mendapatkan ilmu yang diajarkan langsung oleh Allah. Dengan hanya menyebutkan ciri-ciri seperti itu, kita dapat menarik kesimpulan bahwa sampai kapan pun akan selalu ada orang dengan ciri-ciri seperti itu. Artinya, akan selalu ada hamba Allah yang dipilih oleh Allah untuk menjadi penunjuk jalan, yang akan mengajarkan ilmu yang telah diajarkan oleh Allah kepadanya.”
” Kamu yakin begitu, Ji ?”
” Ya iya lah, Kang. Ini kan firman Allah. Pasti benar. Makanya aku yakin.”
Kang Doko mengangguk.” Ya, benar, Ji,” sahutnya mantap. ” Tetapi ngomong-ngomong, apakah kamu pernah bertemu dengan orang itu ?”
” Maksudmu, Kang ?”
” Ya, apa kamu pernah bertemu dengan hamba pilihan Allah itu ?”
” Mengapa sampeyan tanya begitu, Kang ?”
” Ya ... maksudku, kalau kamu sudah ketemu, aku kan bisa minta tolong kamu supaya menemukan aku dengannya, Ji.”
Aku terkekeh. Alhamdulillah, kataku dalam hati, Allah menunjukkan kebesaranNya kepadaku dengan mendengar sendiri pengakuan Kang Doko yang begitu mendamba untuk dapat bertemu dengan seorang penunjuk jalan. Sungguh tidak mudah untuk dapat sampai pada pengakuan jujur seperti pengakuan Kang Doko. Umumnya, orang akan dengan mudah menampik hal-hal seperti ini, karena terasa aneh dalam pendengaran mereka. Tidak lazim. Karena di dalam berbagai tempat pengajian, majelis taklim dan berbagai kajian atau studi, keberadaan seorang penunjuk jalan yang akan menunjukkan shirathalmustaqim, tidak pernah masuk dalam kajian mereka.
Sebenarnya, yang dibutuhkan hanyalah kesediaan untuk mau berpikir sedikit lebih menukik, seperti yang dilakukan oleh Kang Doko. Dia tidak hanya berhenti pada bunyi teks atau terjemahan. Ia mencoba untuk memahami sedikit lebih jauh, sehingga akhirnya Allah membukakan untuknya hal-hal yang selama ini luput dari perhatiannya. Seperti ketika aku ajak dia untuk berfikir tentang jalan, melalui firman Allah surat ke-43 Az-Zuhruf ayat 9-10, Kang Doko tampak berfikir keras.
”Dan sungguh jika kamu ntanyakan kepada mereka ”siapakah yang menciptakan langit dan bumi ?” niscaya mereka akan menjawab ”semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui, Yang menjadikan bumi untuk kamu sebagai tempat menetap dan Dia membuat jalan-jalan di atas bumi untuk kamu supaya kamu mendapat petunjuk”. (QS 43:9-10).
” Apa yang terpikir olehmu, Kang, setelah membaca ayat itu ?” tanyaku.
Kang Doko mengernyitkan keningnya. Agak cukup lama ia membaca terjemah ayat itu berulang-ulang. Lalu :
” Aku menyerah, Ji,” ujarnya kemudian.
Aku menghela nafas. ” Kang,” kataku, ”sebenarnya ayat itu merupakan salah satu bukti bahwa banyak orang mengenal Allah dari asma’ dan af’alNya, karena itu kepada siapa pun pertanyaan itu diajukan, maka jawabannya akan seperti itu. Nah, karena itu, manusia merasa telah mengenal Allah cukup melalui pengenalan atas asma’ dan af’alNya belaka. Padahal di situ ada bagian ayat yang sangat penting, yaitu ”Yang menjadikan bumi untuk tempat kamu menetap, dan Dia membuat jalan-jalan di atas bumi untuk kamu supaya kamu mendapat petunjuk”. Tetapi bagian yang penting ini terlupakan. Manusia lalai mencermati bagian ini.”
” Maksudmu ?”
” Coba pikir, Kang. Pada bagian Yang menjadikan bumi untuk tempat kamu menetap, tentu kita sepakat bahwa itu memang diciptakan oleh Allah. Tetapi, pada bagian berikutnya dan Dia membuat jalan-jalan di atas bumi, rasanya kita harus menggunakan akal pikiran kita dengan merdeka. Coba kita renungkan : jalan-jalan yang kita lalui jika kita naik kendaraan atau jalan kaki ke kantor, ke pasar, ke sekolah atau ke tempat-tempat lain itu dibuat oleh manusia ? Betul ?”
Kang Doko mengangguk.
” Nah, apakah firman Allah salah ?”
” Tidak mungkin.”
” Ya. Tidak mungkin. Firman Allah pasti benar.”
” Lantas, jika kenyataannya bahwa jalan-jalan yang ada di bumi dan dilalui oleh manusia itu diciptakan oleh manusia, sementara Allah menyatakan bahwa Dia mebuat jalan di atas bumi, bagaimana Ji ?”
” Kang, coba perhatikan, di situ kan dijelaskan yang menjadikan bumi untuk tempat kamu menetap. Menetap itu artinya, kita berdiam di situ, dan tidak pernah berpindah-pindah. Dalam kenyataannya, kita tidak menetap di tempat yang sama dari sejak lahir sampai mati. Kang Doko sendiri, berapa kali pindah rumah ? Lebih dari dua kali kan ? Maka, kita harus melihat ke bagian lain dari diri kita, Kang.”
” Maksudmu ?”
” Kita ini kan terdiri dari jasad dan roh, Kang. Sekarang coba renungkan, di mana roh kita menetap ?”
” Di jasad kita, Ji,” sahut Kang Doko agak ragu.
” Kalau begitu, bukankah itu berarti bahwa yang dimaksud dengan bumi dalam ayat itu adalah jasad kita, sedang yang dimaksud dengan kamu adalah roh kita.”
” Subhanallah, betul, Ji. Betul,” sahut Kang Doko girang. ” Kalau begitu, artinya, di jasad kita itulah ada jalan yang sudah disiapkan oleh Allah. Jika kita melalui jalan itu, maka kita akan mendapatkan petunjuk dari Allah.”
” Dan yang mengerti jalan itu adalah manusia yang dipilih oleh Allah untuk menjadi penunjuk jalan, Kang.”
” Di mana orang itu ?”
Aku tersenyum.” Sabar, Kang. Sampeyan akan ketemu dengan dia, insya Allah. Sabar.”*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H