Boleh jadi Kang Doko sendiri tidak menyadari, ada yang telah berubah pada dirinya. Biasanya, orang lainlah yang dapat melihat adanya perubahan pada diri seseorang. Tetapi yang bersangkutan sendiri, seperti Kang Doko misalnya, tidak pernah menyadari, karena ia adalah pelaku tunggal yang sedang sibuk mencari jatidiri.
Itulah yang sekarang sedang terjadi pada Kang Doko. Paling tidak, dia sekarang ini sedang amat sibuk melihat kekurangan diri, sehingga ia tidak pernah memiliki waktu untuk melihat pada orang lain. Maka yang tampak olehnya adalah kekurangannya sendiri, bukan kekurangan orang lain. Itulah sebabnya, ketika orang lain melihat Kang Doko tidak lagi suka berbicara tentang orang lain, orang pun melihat perubahan itu. Kang Doko sendiri merasa itu bukan sesuatu yang luarbiasa.
” Ah, aku rasa itu wajar saja,” kata Kang Doko ketika Lik Ahmad menanyakan perubahan itu. ” Aku menyadari, Lik, umurku makin tua, dan bekalku belum lagi cukup untuk menghadap Allah jika sewaktu-waktu Dia memanggilku pulang.”
Lik Ahmad mengangguk. Ya, memang sudah seharusnya begitu, pikir Lik Ahmad sambil diam-diam merasa bersyukur karena bagaimana pun juga dia melihat perubahan yang terjadi pada Kang Doko adalah positif.
” Tidak usah diceritakan pada orang lain, Kang,” kataku ketika Kang Doko menyampaikan cerita itu kepadaku.” Biarlah Kang Doko sendiri yang merasakan. Orang lain kan penonton, dan setiap penonton memiliki hak azasi untuk mencaci maki atau menyanjung puji.”
” Tapi aku tidak salah kan kalau aku bilang pada Lik Ahmad lagi mencari bekal di usiaku yang sudah mulai tua ini ?” tanya Kang Doko.
” Masa sih bilang begitu saja salah, Kang,” kataku sambil tersenyum. Kang Doko ketawa. Suaranya renyah sekali. ” Walaupun demikian, aku perlu memberitahu sampeyan Kang, bahwa nasib kita dihadapan Allah kelak itu bukan ditentukan oleh seberapa banyak amal kita.”
Kang Doko memandangku. Heran.
” Koq begitu, Ji ?”
” Ya, lihat saja Al Quran, Kang,” kataku. ” Coba dibuka surat ke-18 Al Kahfi ayat 103, lalu baca terjemahnya.”
Kang Doko membaca terjemah ayat itu : ”Katakanlah: apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya ?”
Lalu aku meminta Kang Doko untuk mengulang-ulang membaca terjemah ayat itu sambil memintanya untuk menangkap pesan ayat itu.
” Ah, nyerah aku, Ji,” katanya kemudian.
” Tumben mudah menyerah, Kang,” kataku sambil tertawa. Kang Doko pun tertawa. ” Begini, Kang, sebenarnya itu adalah tawaran dari Allah yang disampaikan dalam bentuk pertanyaan. Jika diterjemahkan secara bebas, maka pesan ayat itu sebenarnya begini : maukah kamu Aku beritahu siapa orang yang paling merugi perbuatannya ?. Pertanyaan dan tawaran itu sebenarnya sangat mengusik hati siapa pun yang membaca ayat itu sambil merenungi makna pesannya.”
” Terus, siapa itu orang yang paling merugi, Ji ?” tanya Kang Doko.
” Ya mana aku tahu, Kang,” sahutku.
” Koq ?”
” Lha yang bertanya kan Allah, ya minta jawabannya pada Allah, Kang.”
” Ah, Ji, ayolah jangan bercanda,” katanya.
Aku tersenyum. ” Kang, Allah sudah menyiapkan jawabannya. Coba baca itu ayat 104-nya.”
Kang Doko buru-buru membaca : ”yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, padahal mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”.
”Lha itu jawabannya, Kang,” kataku. ” Orang yang menyangka telah berbuat baik. Coba renungkan, Kang. Jika sampeyan salat lima waktu, rajin pergi ke masjid salat berjamaah, tentu Kang Doko menyangka bahwa apa yang sampeyan lakukan itu adalah perbuatan baik kan ?”
” Ya iya lah, Ji,” sahut Kang Doko cepat. ” Mana ada orang yang berani mengatakan salat itu perbuatan yang tidak baik.”
” Seratus buat sampeyan, Kang. Tetapi kenapa Allah mengatakan bahwa perbuatan mereka itu sia-sia ? Mengapa Allah menyatakan, yang paling rugi adalah orang-orang yang menyangka telah berbuat baik ? Salat baik, bayar zakat baik, puasa baik, naik haji baik, menyantuni fakir miskin baik. Begitu kan ?”
Kang Doko diam. Tergugu.
” Kang, di situ Allah kan menyebut orang yang paling merugi,” kataku. ” Orang yang rugi adalah orang yang telah melakukan sesuatu tetapi tidak mendapatkan hasil. Begitu kan ? Kalau Kang Doko menanam padi, merawat tanaman itu dengan baik, sampeyan pasti punya harapan untuk dapat panen. Benar ?”
Kang Doko mengangguk.
” Nah, kalau ternyata tanaman itu rusak karena hama, sampeyan rugi tidak ?”
” Ya rugi,” sahut Kang Doko dengan suara agak lemah.
” Nah, Kang Doko rugi karena sampeyan telah menanam dan merawat dengan baik. Tetapi aku, yang tidak pernah menanam, apalagi merawat tanaman padi, aku kan tidak akan mengatakan aku rugi ? Bagaimana bisa aku rugi, lha wong menanam padi juga tidak. Masa rugi ?”
Kang Doko mengangguk-anggukkan kepalanya tanda ia sudah mulai paham.
” Itu yang aku maksud, manusia tidak dapat bergantung atau menggantungkan diri pada amalnya. Ada sesuatu yang lebih penting dari sekedar amal, Kang.”
” Apa itu, Ji ?” tanya Kang Doko penuh rasa ingin tahu.
” Sabar, Kang,” kataku. ” Tehnya diminum dulu mumpung masih hangat.”*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H