Malam ini, Kang Doko kembali datang ke rumahku. Kali ini dia membawa pisang goreng yang dibungkus daun pisang. ” Ini isteriku yang menggoreng,” katanya,” tadi siang aku menebang pisang di halaman belakang rumah.”
Aku terkekeh.
” Wah, koq malah tamunya yang bawa lawuh medang,” kata isteriku ketika Kang Doko menyerahkan bawaannya.
” Alah, cuma pisang goreng saja koq Bu Kaji,” sahut Kang Doko.
” Kang,” kataku setelah beberapa waktu berbasa-basi,” sekaranglah waktunya bagi kita untuk menguji, apakah Kang Doko sudah mampu jujur pada diri sendiri, atau belum.”
” Caranya ?”
” Ya, kita lihat ayat-ayat Al Quran,” kataku. ” Kemarin kan sudah aku bilang, menurut surat Al Fatihah, manusia terbagi dalam tiga kelompok, yaitu : (1) kelompok orang yang telah mendapat nikmat ; (2) kelompok orang yang dimurkaidan (3) kelompok orang yang tersesat. Nah, kalau Kang Doko benar-benar sudah siap menundukkan ego sendiri untuk jujur, mari kita mulai menyelisik, di mana posisi Kang Doko.”
Kulihat, Kang Doko sungguh amat serius, ketika aku melontarkan pertanyaan : ”apakah Kang Doko sudah termasuk kelompok orang yang mendapat nikmat ?” Cukup lama Kang Doko merenung untuk menemukan jawabannya.” Jujur saja Kang, jangan menipu diri sendiri.”
” Yah,” desah Kang Doko setelah cukup lama diam. ” Aku tidak tahulah, Ji.”
” Kalau begitu coba Kakang buka Al Quran surat ke-4 atau surat An-Nisa ayat 69,” kataku. ” Coba Kang Doko sendiri yang membaca terjemahannya.”
” Baiklah,” sahutnya, lalu dibaca terjemah ayat tersebut, ” dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu Nabi-nabi, para shiddiqin, para syuhada dan para solihin. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”
” Nah, siapa dia orang-orang yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah, Kang ?”
” Ada empat golongan, Ji, yaitu para Nabi, para syuhada, para shiddiqin dan para sholihin.”
” Baik, mari kita selisik, Kang ya. Jawablah pertanyaanku dengan sejujurnya. Bukan untuk aku, Kang, tetapi untuk sampeyan sendiri. Apakah Kang Doko seorang Nabi ?”
” Ya pasti bukan, Ji. Kalau aku berani mengaku Nabi, bisa-bisa aku dilempari batu oleh orang sekampung.”
” Tidak hanya itu, Kang. Bahkan Kang Doko akan ditangkap dan diadili karena dianggap telah menyesatkan orang,” sahutku sambil tersenyum. ” Lalu, jawablah lagi pertanyaanku, Kang : apakah Kang Doko termasuk golongan manusia yang disebut shidiqin ?”
Kang Doko tidak segera menyahut. Ia memandangku.” Terus terang, Ji, aku tidak tahu apa sih shiddiqin itu ?”
” Shiddiqin itu adalah orang-orang yang benar,” sahutku. ” Benar hidupnya, benar perkataannya, benar ibadahnya. Ingat saja pada sahabat Nabi Muhammad saw yang bernama Abu Bakar. Dia mendapat gelar as-shiddiq, karena ia adalah seorang manusia yang dapat dipercaya. Perkataannya selalu benar, persaksiannya juga selalu benar. Dua hal itu penting, Kang. Persaksian yang benar dan perkataan yang benar.”
” Maksudnya ?”
” Abu Bakar diberi gelar as-shiddiq, karena apa yang dia katakan selalu berdasarkan pada apa yang dia saksikan. Dia selalu membenarkan apa yang dikatakan oleh Nabi Muhammad, karena ia telah membuktikan apa yang didengarnya dari Nabi. Ketika orang lain menolak dan ragu-ragu terhadap pernyataan Nabi Muhammad saw bahwa beliau baru saja di mi’rajkan oleh Allah SWT ke langit ketujuh bahkan sampai ke sidratulmuntaha, Abu Bakar langsung menyatakan keyakinannya dengan membenarkan pernyataan itu, karena ia tahu pasti Nabi akan memberikan kepadanya bukti yang nyata. Dan Abu Bakar akan semakin yakin terhadap kebenaran ucapan Nabi, setelah ia menyaksikan bukti nyata itu.”
Kang Doko menghela nafas.
” Jadi intinya, orang yang disebut shiddiqin adalah orang selalu membenarkan perkataan Nabi maupun membenarkan apa yang dialami oleh Nabi, karena dia telah membuktikan kebenarannya. Maka, yang keluar dari mulutnya pun adalah perkataan yang benar. Perkataan yang berasal dari persaksiannya. Ia bukan sekedar mengatakan sesuatu karena ingin mendapatkan pengakuan dari orang lain.”
” Apa di jaman ini ada orang yang seperti itu, Ji ?” tanya Kang Doko.
” Ya pasti ada, Kang,” kataku meyakinkan. ” Tetapi mungkin jumlahnya amat sedikit, karena mayoritas manusia hanya sekedar mencari pengakuan dari sesama manusia, bukan mendapat pengakuan dari Allah.”
Kang Doko, sekali lagi, menghela nafas.
” Sebaiknya, kita tidak usah memikirkan orang lain dulu, Kang,” kataku akhirnya.” sekarang lebih baik fokus dulu pada diri sendiri, dengan bertanya pada diri sendiri, apakah Kang Doko sudah termasuk golongan shiddiqin ?”
Kang Doko menghela nafas, ” Yahhh,” desahnya,” kalau kriterianya seperti itu, jelas aku belum masuk golongan shiddiqin, Ji. Bahkan aku juga bertanya-tanya, apa ada orang yang berani mengaku dengan jumawa bahwa dirinya adalah golongan shiddiqin. Kalau ada, dan itu adalah ungkapan yang jujur, maka aku menaruh hormat kepadanya. Tetapi jika itu hanya sekedar pengakuan, jelas aku kasihan padanya.”
” Kenapa ?”
” Dia telah menipu dirinya sendiri.”
Aku tersenyum. ” Jadi benar kan, Kang, tidak gampang memiliki kejujuran untuk diri sendiri ?”
” Ya. Aku mulai dapat melihat arah yang jelas dari pembicaraan kita.”
” Apa itu ?”
” Yang pasti, aku bukan Nabi, dan aku pun belum menjadi shiddiqin. Aku belum masuk golongan orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah.”
” Jangan kecil hati dulu, Kang,” kataku. ” Kan masih ada dua golongan lagi, yaitu syuhada dan sholihin. Siapa tahu, Kang Doko masuk ke salah satu dari dua golongan itu.”
Kang Doko mengangguk. ” Iya ya,” katanya. Tampak wajah Kang Doko kembali memancarkan harapan.
” Tapi, Kang, dinikmati dulu teh dan pisang gorengnya,” kataku.*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H