Mohon tunggu...
Rezha Nata Suhandi
Rezha Nata Suhandi Mohon Tunggu... Penulis - Rezha

Mencintai senja kala biru, kegaduhan imajinasi lambang superioritas intelektual.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wajah Ahok dan Kebangkitan Kemanusiaan

27 September 2016   01:00 Diperbarui: 27 Desember 2016   16:51 1995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya sedikit khawatir ketika mencoba untuk menuliskan ini kedalam narasi sempit pemikiran saya soal Pilkada Jakarta. Entah tuduhan apa yang akan datang kepada saya karena berbagai alasan dan gejolak fanatisme dari para pendukung. Politik memang demikian, membuyarkan pandangan dan anggapan soal suara yang kita anggap benar.

Tahun 2017 menjadi tahun politik bagi beberapa daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung, tak terkecuali Provinsi DKI Jakarta. Ibukota Indonesia, tempat yang menjanjikan surga pada mata yang mengetahuinya dibatas media cetak maupun televisi. Jauh harapan yang coba diberikan pada manusia-manusia yang menggantungkan mimpi, Jakarta menjadi amatlah kejam tidak hanya kepada pendatang namun juga orang-orang yang sudah lama hidup dari limpahan air dan pijakan tanah Jakarta.

Sebagai ibukota Negara, Jakarta merupakan magnet sekaligus episentrum mengenai segala rupa termasuk dinamika politik nasional. Kini pesta demokrasi di ibukota sesaat lagi menjelang, menyajikan drama panjang dengan akhir cerita yang mungkin sangat dramatis bagi siapapun yang menyaksikannya.

2 tahun lebih ibukota dinakhkodai oleh Basuki Tjhahaja Purnama, yang naik secara otomatis untuk menggantikan posisi Pak Joko Widodo. Joko Widodo atau yang kita kenal secara familiar dengan nama Jokowi telah terpilih sebagai Presiden RI pada pemilu presiden 2014 silam. Alhasil, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebagai Wakil Gubernur menggantikan posisi Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Selama 2 tahun lebih memimpin Jakarta, Ahok telah menimbulkan berbagai polemik dari segi kebijakannya sebagai Gubernur. Cukup banyak pemberitaan positif dan negatif memasuki barisan lini massa informasi mengenai sepak terjang Ahok memimpin Jakarta. Publik mengenal Ahok sebagai pejabat yang temperamental dan emosional. Kontradiktif dengan budaya ketimuran yang Indonesia miliki, sopan santun dan lemah lembut.

Tipikal Ahok yang diluar dari kebiasaan orang Indonesia inilah yang banyak menjadi bahan pembicaraan. Tak perduli Ahok marah terhadap sesuatu yang buruk ataupun baik, kemarahannya lah yang menjadi sorotan utama justifikasi publik. Saya mencoba objektif pada tulisan yang menjadi alasan saya enggan mendukung Ahok.

Sebagai orang Indonesia berketurunan Sunda dan Jawa, tipikal pemarah Ahok terasa asing bagi telinga saya. Cara pandang saya pun langsung menghakimi jika kelakuan Ahok tidak layak contoh dan buruk bagi teladan publik. Memang sebagai pejabat Negara, terlebih sebagai Gubernur DKI Jakarta, Ahok tak bisa bersembunyi dari penilaian public mengenai perilaku dan kehidupannya sehari-hari. Sebagai pejabat public pula lah, perilaku dan kehidupan sehari-hari seringkali menjadi contoh teladan bagi public. Apalagi jika kita ingat mengenai konsep “Revolusi Mental” yang diusung Presiden Jokowi, konsep ini sangat butuh teladan dari pejabat public agar mampu dicontoh oleh khalayak banyak.

Terlepas dari ras Ahok yang bukan asli bangsa Indonesia ataupun agama Ahok yang non muslim saya tidak ingin membahas hal tersebut. Bagi saya, siapapun dan apapun keyakinannya tentu layak dijadikan teladan sebagai pemimpin jika dapat bersikap baik dan berbudi pekerti luhur.

Ada hal lain yang lebih memprihatinkan mengenai sepak terjang Gubernur Jakarta satu ini, selain perilaku pemarah, Ahok juga mendobrak batas nalar dan nurani saya tentang kemanusiaan di bumi Jakarta. Kemanusiaan yang saya maksud disini adalah perlakuan manusia pribumi dan kelompok rakyat miskin yang tidak diperlakukan sebagaimana manusia mendapatkan hak kemanusiaannya. Berbagai kasus penggusuran yang menggunakan cara-cara kekerasan dan paksaan bagi saya adalah hal yang tidak manusiawi, hal yang jauh dari kata “kebaikan”.

Pak Jokowi sebagai pendahulu Ahok sekaligus orang yang membuat Ahok menjadi Gubernur pun tak pernah menggunakan cara-cara kekerasan, tak manusiawi dan tak beradab seperti sekarang ini. Jokowi pernah mencontohkan, untuk menata suatu daerah dan merelokasinya dibutuhkan pendekatan secara dialogis, kekeluargaan dan dari hati ke hati. Toh yang dipindahkan adalah manusia, bukan binatang yang dapat berpindah hanya dengan sekali cambuk atau teriakan perintah.

 Alibi Ahok malah membuat saya semakin miris, Ahok menyediakan rusun bagi warga yang bersedia pindah secara sukarela dari tempat yang akan digusur. Rusun disediakan gratis pada 3 bulan pertama, selanjutnya diwajibkan membayar sebagai ongkos pemeliharaan. Bagi saya ini merupakan wajah Ahok sebagai pengusaha dan pebisnis. Rusun-rusun yang dibuatkan oleh pengembang sebagai kontribusi atas pembangunan di daerah lain ataupun CSR (Corporate Social Responsibility) merupakan bagian dari tukar guling Ahok kepada para pengembang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun