12 Tahun lalu pertama kali saya menginjakkan kaki di purwakarta, sebuah kota kecil yang tak lazim terdengar namanya saat itu. Sebagai salah satu wilayah di jawa barat, sebelum adanya lintas jalan Tol Cipularang arah Bandung atau Cikopo arah Palimanan, Purwakarta seringkali masuk ke pemberitaan media terutama ketika menjelang musim mudik lebaran, karena lalu lintas yang berujung pada menumpuknya kendaraan dan sebabkan kemacetan sering terjadi di daerah Purwakarta, pada persimpangan Sadang tepatnya. Hal inilah yang membuat nama Kabupaten Purwakarta terdengar akrab di telinga kita pada era tersebut. Letak geografis purwakarta memang strategis sebagai wilayah perlintasan dari daerah berdiam kaum urban seperti Jakarta, Bekasi, Depok dan Tanggerang menuju daerah asal mereka di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Berada di persimpangan jalur urban, membuat identitas Purwakarta hanya sebagai kota persinggahan saja, bukan kota tujuan apalagi kota tempat mengadu nasib yang bisa membuat banyak pendatang pertaruhkan hidup di Purwakarta. Ketika orang lelah berkendara atau sekedar ingin santai sejenak, titik wilayah Purwakarta adalah hal yang tepat untuk rehat sebentar dari perjalanan. Selain itu, Purwakarta terkenal karena sate maranggi Desa Cibungur, waduk jatiluhur dan banyaknya kawasan hutan jati milik perhutani yang ada di sepanjang jalan wilayah Purwakarta.Â
Lebih dari itu dahulu kondisi jalanan Purwakarta juga berdebu karena banyaknya Truk besar melintasi jalan-jalan, mengganggu kondisi pengguna jalan lain apalagi pengendara sepeda motor. Purwakarta dahulu memang seperti kota mati, tak ada daya tarik bagi orang untuk sengaja berkunjung singgah ke Purwakarta. Alhasil pembangunan Purwakarta mengalami stagnansi. Ditambah lagi APBD yang kecil membuat Purwakarta terus mencari cara agar dapat meningkatkan taraf kehidupan masyarakatnya. Minimal Purwakarta dikenal dengan sebuah identitas positif yang senantiasa melekat pada perbincangan khalayak.
Namun hari ini ketika saya memijakkan lagi kaki ke Purwakarta, sungguh sangat berbeda dari 12 tahun lalu. Jalan-jalan di pedesaan sudah rapi tanpa ada jalan tanah lagi, sudut-sudut kota di perindah dengan taman dan patung-patung sebagai hiasan khas peradaban sunda, lampu-lampu jalan berjajar yang jika malam tiba benderangnya sejukkan hati, jarang lagi terlihat kemacetan di jalan-jalan menuju perkotaan, dan pasar tradisional tertata dengan rapi tanpa ada pedagang yang berdagang sampai menutup lajur jalan.
Saat menjelang pukul 9 malam ada hal yang membuat saya sedikit terhenyak, karena jarang sekali ada anak muda berkeliaran di jalan, hampir tak ada anak muda kongkow sambil bermusik ria seperti yang biasa saya saksikan di daerah saya dan daerah lainnya, padahal malam sabtu saat itu, yang notabene keesokan harinya libur sekolah karena weekend.Â
Memang bukan hanya malam minggu saja banyak anak muda menghabiskan waktu dengan berkongkow ria bersama teman, namun jika keesokan harinya weekend akan ada banyak muda mudi keluar untuk menikmati malam karena esoknya tanpa aktifitas rutin. Lantas kenapa hal ini terjadi di Purwakarta ? ternyata ada Perbup (Peraturan Bupati) yang mengatur soal jam malam ini. Hal tersebut termaktub dalam Pasal 6 huruf (I) dan (M) Peraturan Bupati Purwakarta Nomor 70/2015 tentang Daerah Berbudaya. ss
Jika ada yang bilang karena kelaziman waktu lantas perubahan itu ada, tapi proses perubahan yang drastis tentu memiliki sebab. Apa sebabnya ? Saya menelisik sebentar, ternyata semua keruwetan yang terjadi 12 tahun lalu mampu dibenahi oleh seorang pemimpin daerah yang sudah hampir 2 periode memimpin Purwakarta hingga seperti sekarang. Dialah penyebab dari semua keberhasilan tata kelola Purwakarta dan pencanangan program daerah yang pro terhadap masyarakat. Beliau, Dedi Mulyadi akrab disapa Kang Dedi.
Beliau membuat Purwakarta menjadi salah satu daerah yang memiliki citra positif dalam berbagai hal untuk Purwakarta. Meningkatnya taraf hidup masyarakat, terjaminnya kehidupan para lansia, pelayanan birokrasi satu pintu untuk perizinan investasi, pendidikan dan kesehatan gratis, percepatan pembangunan infrastruktur sampai ke desa-desa, terciptanya lokasi-lokasi wisata baru yang menarik minat wisatawan seperti Taman Air Mancur Sri Baduga dan masih banyak lainnya.
Belum lagi kebangkitan kebudayaan sunda yang diusung oleh Kang Dedi Mulyadi sebagai platform pembangunan Purwakarta. Pembangunan berbasis kebudayaan. Kira-kira begitulah nalar saya menangkap konsep yang di bawa Kang Dedi Mulyadi terhadap Purwakarta hari ini. Bukan hal kecil saya kira, peradaban budaya sunda dengan kebesaran sejarah Kerajaan Galuh Pakuan Pajajaran telah membawa saya menerawang jauh. Kang Dedi Mulyadi sepertinya menginginkan spirit Kesundaan dan Galuh Pakuan Pajajaran mengisi setiap relung jiwa masyarakatnya.Â
Dengan sejarahnya, kejayaan Galuh Pakuan Pajajaran banyak dirindukan oleh orang sunda, hingga dibuat frasa atau kata yang sangat favorit di katakan orang tua dahulu kala. "Pajajaran henteu sirna, tapi tilem ngawun-ngawun Ngan engke bakal ngadeg deui" (Pajajaran tidak hilang, pakuan hanya ngahiang, suatu saat akan berdiri kembali).Â
Kang Dedi Mulyadi membawa kembali kenangan yang telah lama hilang dan mengawang-awang. Pantaslah keberadaan Galuh Pakuan Pajajaran dikenang orang sunda karena cerita kejayaan dan kebesarannya memang sulit tergambar dan terlukiskan hanya bisa di harapkan, suatu saat akan muncul kembali Pajajaran yang baru. Kang Dedi Mulyadi dengan Purwakarta mewujudkannya, walaupun tidak secara utuh tapi minimal kita dapat mengkhayal berada ribuan tahun lalu saat Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi bertahta di Galuh Pakuan. Â