Pada tulisan kali ini saya ingin sedikit serius, tanpa menghilangkan estetika penulisan yang biasanya selalu menghiasi diksi kalimat dari tulisan saya pada sebuah narasi. Mungkin hal tersebut disebabkan atas kejengkelan dan kekesalan saya terhadap sebuah fenomena yang akan saya bahas dalam tulisan berikut ini.
Saya awali dari cerita dan diskusi beberapa teman tentang sebuah fenomena pada alam demokrasi di Indonesia, fenomena yang membuat Indonesia tertatih dalam menggapai cita-cita yang telah digariskan secara kaffah dalam merengkuh kesejahteraan bagi rakyatnya. Cerita dan diskusi diatas meja itu telah membangkitkan kegelisahan saya atas sebab-sebab tak tertulis maupun tak terlihat, tentang apa, siapa, mengapa dan bagaimana.
Fenomena ini berlangsung secara simultan, konsisten dan bagi sebagian orang merupakan hal lumrah yang berkenaan dengan perilaku budaya masyarakat Indonesia. Terlepas dari tujuan mengenai apa yang harusnya terwujud, kesadaran dikubur begitu saja, melewati batas nalar logika yang terpendam diantara harapan semu yang menjadi kian apatis bagi cita-cita masyarakat pada partisipasi politiknya.
Terhantar pada gegap gempita reformasi, alam demokrasi menjadi tujuan sekaligus pedoman yang dirasa sangat ideal bagi kancah perpolitikan Negara Indonesia dewasa ini, pasca orde baru turun tahta tepatnya. Namun hal sebaliknya yang justru terjadi, fenomena yang sedang saya tuliskan panjang lebar ini berganti wajah menjadi lingkaran setan yang seakan tak bisa terputus mata rantainya.
Politik uang atau money politic kita biasa menyebutnya. Dalam pengertian saya yaitu, mentransaksikan suara kita sebagai masyarakat yang dilindungi hak politiknya dalam konstitusi dengan sejumlah nilai materi berbentuk uang dengan tujuan agar memilih figur tertentu yang sudah memberikan uang kepada kita. Tergambar dalam benak saya, ini tak sehat, sungguh ini malapetaka bagi demokrasi secara umum dan masa depan bangsa Indonesia secara khusus.
Mengapa saya katakan demikian, bagi saya oknum-oknum politik bertopeng yang menawarkan sejumlah uang sebagai pemanis untuk memilih dirinya tak lain adalah pengkhianat bangsa. Karena figur seperti inilah yang berdiri diatas prinsip demokrasi untuk kesejahteraan rakyat dengan berkangkang materi. Figur seperti inilah yang sesungguhnya menyemai racun demokrasi diatas cawan harapan masyarakat.
Bagaimana tidak, atas logika sederhana saya berfikir dan menelaah tentang para figur politik yang coba bermain dengan politik uang untuk mendapatkan tampuk jabatan. Mereka merelakan diri, mengeluarkan uang yang tak kecil jumlahnya, mereka hitung kebutuhan suara dan harga per kepala konstituen atau pemilih untuk dapat memilihnya. Sumber uangnya bisa didapat dari mana saja, milik pribadi, pinjaman ke berbagai pihak ataupun sumbangan yang kita dapat berprasangka, tak pernah ada sumbangan dalam politik yang tidak mengharapkan timbal balik atau pamrih ketika hajat tercapai.
Logikanya adalah, hal semacam itu merupakan transaksi jual beli. Analogi sederhana, jika saya membeli barang di satu toko, maka barang itu adalah sepenuhnya milik saya, hak saya untuk mempergunakan sesuai kepentingan atau keperluan saya. Tak boleh ada yang menuntut atas barang yang telah saya beli ini.
Mengafirmasi analogi diatas dalam konteks pemilihan umum atau pilkada. Suara kalian telah saya beli demi jabatan ini dan hak saya untuk mendapatkan apa yang saya mau atas pembelian itu. Jika satu hari kalian menuntut atas pengabdian saya, kalian masyarakat miskin yang butuh negara atau pemerintah hadir dalam kesulitan kalian, tak punya hak sama sekali dalam kewenangan saya terhadap jabatan ini, jabatan dari hasil membeli suara kalian wahai sang bodoh.
Harga kalian, RAKYAT, bisa ditakar oleh mereka si pelaku politik uang. Harga diri kalian terbeli, sungguh menyedihkan.
Politik uang juga menyebabkan biaya politik yang tinggi guna mendapatkan sebuah jabatan. Jika saya melakukan politik uang dalam sebuah kontestasi politik, maka ketika saya menjabat kelak, anggaran daerah yang telah kalian percayakan pada saya dari hasil pembayaran pajak kalian akan menjadi hak saya. Dalam pembahasaan sederhana, jual beli yang saya lakukan terhadap suara kalian, bodoh kalau ketika menjabat saya tidak mengganti uang yang saya keluarkan, bodoh juga kalau saya tak mencari untung atas transaksi jabatan hasil beli suara ini.