Berbicara mengenai poligami, seakan tidak pernah jauh dari perbincangan pro dan kontra yang tidak ada akhir. Masing-masing pihak memiliki alasan mengatas namakan sekte apapun untuk menolak ataupun mendukung persoalan poligami. Setuju ataupun tidak, kita tidak akan bisa menapik proses sejarah yang telah menghadirkan poligami sebagai sebuah kebiasaan sejak tempo dulu yang terhubung menjadi sebuah budaya. Begitupun di Aceh, bahkan banyak cerita yang saya dengar dari para sanak keluarga, ada beberapa dari pendahulu kami yang juga memiliki peurumoh (sebutan untuk istri) lebih dari satu.
Menguak Budaya Poligami di Aceh Ala Tempo Dulu
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligami merupakan sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini  beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Namun saat ini, istilah poligami lebih dikenal dengan sistem perkawinan di mana seorang laki-laki dapat memiliki atau mengawini lebih dari satu perempuan untuk dijadikan istri.
Menurut Rusdi Sufi, dkk  dalam buku Adat Istiadat Masyarakat Aceh (2002), disebutkan bahwa masyarakat Aceh di zaman dahulu percaya bahwa sebuah perkawinan dikatakan bahagia jika istri sanggup memenuhi segala kebutuhan suami dan kebutuhan rumah tangganya. Sehingga jika terdapat kekurangan seorang istri, baik permasalahan sifat yang kurang berkenan, tidak pandai dalam mengurus rumah tangga, tidak dapat bergaul dengan baik, serta sikap-sikap lainnya, akan dijadikan sebagai sebuah kekurangan yang menjadikan alasan seorang suami dapat mencari peurumoh yang lain. Maka tak heran, jika istri kedua juga memiliki sifat yang masih dirasa kurang, suami akan menikah untuk kali ketiga dan seterusnya.
Alasan lain yang diungkapkan adalah karena mereka mengikuti dan mencontoh Nabi Muhammad SAW yang menikah lebih dari satu kali. Masyarakat Aceh percaya bahwa dengan berpoligami akan memberikan banyak anak dan membawa banyak rezeki, yang berarti sebanding dengan banyaknya amal saleh yang dilakukan.
Sejak masa kesultanan, baik para raja, bangsawan dari golongan Tuanku, Teuku, Cut, Meurah, ulama, uleebalang, orang-orang yang mempunyai gelaran (ureung meunama) dan orang kaya telah banyak yang melakukan poligami.Â
Bagi orang Aceh saat itu, jika dapat menikahkan anak perempuannya dengan salah satu golongan di atas, dapat menaikkan derajat dan status sosial di masyarakat, walaupun harus menjadi istri kedua, ketiga dan seterusnya.
Salah satu contohnya adalah Sultan Iskandar Muda. Sejarah telah menyebutkan bahwa sang Sultan memiliki beberapa istri, walaupun tak ada catatan resmi mengenai siapa nama istri-istri beliau.Â
Menurut beberapa sumber, Sultan Iskandar Muda pernah memperistri seorang putri bernama Permaisuri Sendi Ratna Indra. Namun keabsahannya masih diragukan. Di antara istri-istri Sultan Iskandar Muda yang paling terkenal adalah Putri Kamalia yang berasal dari negeri Pahang (sekarang menjadi salah satu bagian wilayah di Malaysia), yang dikenal dengan sebutan Putroe Phang.
Selain itu, masyarakat Aceh melakukan poligami karena alasan faktor peperangan. Banyak pejuang lelaki yang wafat ketika berperang, dan banyak wanita Aceh yang menjadi janda perang saat itu.Â
Sehingga para pejuang lelaki Aceh yang masih hidup akhirnya menikahi janda-janda tersebut. Para janda perang pun bersedia dengan syarat pejuang ini melanjutkan perjuangan rakyat Aceh kembali melalui perang dan sebagai sarana untuk dapat membalaskan dendam kematian para kerabat yang terbunuh di saat berperang dengan Belanda.
Tersebutlah kisah salah seorang pejuang Aceh yang bernama Teuku Umar. Pejuang asal Meulaboh ini awalnya menikah di usia 20 tahun dengan Nyak Sofiah, putri seorang Uleebalang Glumpang.Â