Mohon tunggu...
Igman Yuda Pratama
Igman Yuda Pratama Mohon Tunggu... Mahasiswa dan buruh freelance -

Seorang nomaden dan penjelajah alam. Lahir di kota angin, Nganjuk. Bercita-cita mengunjungi semua negara di dunia. Saat ini tengah menempuh studi Ilmu Politik di UIN Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hakikat Waktu

2 Desember 2015   01:41 Diperbarui: 2 Desember 2015   02:11 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Waktu jika didefinisikan secara konkret akan sulit untuk diungkapkan. Karena waktu merupakan term abstrak. Bentuk waktu sendiri tidak ada. Tetapi bukan berarti tidak bisa didefinisikan. Menurut KBBI waktu adalah seluruh rangkaian saat ketika proses, perbuatan, atau keadaan berada atau berlangsung. Para ahli pun juga berupaya mendefinisikasikan makna waktu. Menurut Hasan Al Banna waktu adalah kehidupan, kehidupan manusia tidak lain adalah waktu yang ia lewati dari saat ia dilahirkan sampai meninggal. Sedangkan John F Kennedy mengartikan waktu adalah kekuatan, Bila kita memanfaatkan waktu, kita sedang berada diatas jalan keberuntungan. Dari beberapa pemaparan diatas dapat ditarik garis besar bahwa waktu adalah sesuatu hal yang sangat penting dalam kehidupan. Untuk itu manfaatkan waktu yang ada dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat.

Pentingnya waktu ini sering dilalaikan oleh umat manusia. Waktu dianggap biasa saja, bahkan dibiarkan mengalir apa adanya. Apalagi di zaman kapitalis ini. Manusia ibarat sebuah mesin robot. Melakukan aktivitas yang sama setiap hari. Kehidupan yang monochrome. Kegiatan bersenang-senang dibatasi hanya pada waktu tertentu. Hari libur dan hari keagamaan, hanya itu saja waktu manusia bisa bebas dari segala kerumitan yang ada dalam dunia fana ini. Apalagi di era modern ini, waktu terasa berputar cepat sekali karena kecanggihan teknologi yang ada. Batas-batas jarak dan waktu bukan lagi masalah. Dulu sebelum ditemukan teknologi, semisal pesawat dan motor, waktu beberapa kilometer ditempuh dalam waktu yang sangat lama. Sekarang jarak antara Jakarta dan Surabaya saja hanya bisa ditempuh dengan waktu 1 jam.

Lalu kenapa waktu kerap dilalaikan oleh umat manusia? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh pribadi masing-masing. Manusia itu memang rumit. Selalu mecari-cari alasan untuk membenarkan perbuatannya. Tapi tentu saja setiap perbuatan yang dilakukan pasti selalu mempunyai suatu tujuan dan sebab untuk melakukan hal tersebut. Secara logika bisa dikatakan seperti sebuah buku yang berpindah tempat. Buku tersebut berpindah tempat pasti ada sebab dan katalisator yang menggerakkan buku tersebut. Tidak mungkin buku itu berpindah tanpa sebab atau tanpa katalisator. Seperti manusia juga, melakukan sesuatu pasti mempunyai sebab musabab atau katalisator sehingga manusia bisa melakukan tindakan tersebut. Jadi pertanyaan ini menurut hemat saya hanya bisa dijawab oleh manusia itu sendiri. Karena memang yang tahu tentang faktor sebab dan katalisator kenapa manusia itu sampai melalaikan waktu, hanya dia sendiri.

Kita sebagai sesama manusia sebaiknya tidak menyalahkan jika ada seseorang yang melalaikan waktu atau bisa disebutkan telat menepati janjinya. Karena ya itu tadi yang tahu sebab dan katalisator kenapa dia bisa melalaikan waktu atau tidak bisa menepati janji ya pribadi sendiri. Manusia tidak bisa menyalahkan akan keterlambatannya itu. Bisa jadi sebab dan katalisatornya itu merupakan hal yang mendesak dan manusiawi. Kalau dihubungkan dengan nilai agama, semua sudah ada yang ngatur. Bisa saja keterlambatan seseorang itu memang sudah takdirnya begitu. Tetapi ada baiknya manusia itu bisa menepati janjinya, tetapi tentu saja harus atas persetejuan kedua belah pihak. Misalkan jika salah satu pihak dalam hati tidak setuju, apabila terjadi misskomunikasi. jangan saling menyalahkan. Dari awal saja sudah tidak saling menyetujui.

Menurut Edward Hall seorang ahli antropologi berkebangsaan Amerika, membagi manusia menurut waktu menjadi 2 kategori, yaitu Monocronic Time (M-Time) dan Polycronic Time (P-Time). Orang-orang dalam kategori P-Time bisa mengerjakan lebih dari satu kegiatan dalam satu waktu dan lebih mementingkan hubungan kemanusiannya. Penduduk warga negara Indonesia masuk dalam kategori ini. Sedangkan orang-orang M-Time biasa mengerjakan kegiatan tunggal dalam satu waktu, dikerjakan dengan runtut sesuai tahapan. Penduduk Jepang dan barat memakai prinsip ini. Dari teori ini bisa dilihat kenapa penduduk Indonesia itu lebih suka telat kalau dalam istilah gaul sebutannya “jam karet”. Karena bangsa Indonesia memakai prinsip Polycronic Time. Sedangkan bangsa Jepang atau Barat memakai Monocronic Time.

Sebagai ilustrasinya seperti ini, kalau seandainya sedang berjanji dengan seseorang, ditengah perjalanan bertemu dengan teman lain, waktu bisa molor barang semenit dua menit hanya untuk sekedar menyapa dan mengobrol. Bagi orang penganut P-Time hal ini dilakukan atas dasar hubungan kemanusiaan. Atau pakai analogi seperti ini, sewaktu menghadiri sebuah pertemuan atau janji, pada waktu yang sama juga mempunyai janji dengan orang lain. Orang-orang P-Time akan mencari momentum yang tepat untuk meninggalkan pertemuan tersebut. Biasanya waktunya diulur-ulur sampai dia dan orang lain merasa nyaman apabila ia meninggalkannya.

Beda dengan orang Jepang dan Barat yang memakai prinsip M-Time, menyapa hanya dengan anggukan kecil waktu berpapasan. Tidak mau mengobrol atau sekedar berucap salam karena bisa memperlambat waktu barang 1 menit atau 2 menit. Meninggalkan sebuah pertemuan pun langsung ditinggalkan saja, tidak peduli apakah orang lain merasa tersinggung. Bagi mereka semua sudah ada waktu dan tahapannya masing-masing. Mereka melakukan hal ini karena memang sudah tersistem mengerjakan kegiatan tunggal yang sudah ada tahapan-tahapannya. Itu sebabnya kualitas menghargai waktu orang Jepang dan Barat itu baik, tetapi kurang dalam segi kemanusiaan.

Orang Jepang dan Barat akan membuat alasan dengan menyalahkan diri sendiri, bukan karena ban bocor, sibuk atau penyebab lain diluar dirinya. Karena itu tingkat kestressan Jepang dan Barat dalam hal mengejar waktu ini tinggi. Kalau saya pribadi memilih untuk menjadi manusia, bukan sebagai robot yang tersistem. Bagaimana pendapat anda? Memilih tetap lelet tanpa stress, atau tepat waktu tapi dapatkan stress, atau tepat waktu dan stress juga. Semuanya kembali lagi ke manusianya masing-masing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun