Saya pernah mendapat pertanyaan seperti ini dari rekan dokter yang dulu bekerja bersama. Sayangnya waktu itu, saya belum sekolah spesialisasi jiwa, sehingga saya menangkap maksud pertanyaan "jiwa itu dimana?' hanya berpusat pada "Mental". Sejawat saya mempertanyakan jawaban saya waktu itu, bahwa jiwa itu tercermin pada hasil dari pikiran, dan perasaan, yang terwujud pada perilaku, sehingga 'jiwa' yang saya maksud adalah di otak tempat mengatur pikiran, perasaan, perbuatan. Rekan saya tidak setuju sama sekali, ia mempertanyakan, " lalu kalo kita mati, badan kita juga mati, lalu jiwa itu dimana?". Apakah anda berpikir apa yang saya pikirkan?, Tricky  bukan?. [caption id="" align="aligncenter" width="585" caption="Sistem Limbik. (clanatomy.ukzn.ac.za)"][/caption] Dalam kerangka sosial budaya, masyarakat kita memiliki nilai-nilai yang berdasar lebih pada spiritualitas dan religiusitas. Pemikiran yang muncul pada masyarakat kita, ketika mendengar kata "Jiwa" adalah seperti makna kata "Soul" atau bahkan "Spirit" , sehingga yang lebih kompeten menjelaskan hal ini adalah orang yang memiliki kompetensi di bidang ini. Kita sering mendengar bahwa para pemuka agama mengatakan jiwa kita akan pergi ke surga saat mati nanti. Kemungkinan hal ini yang ditanyakan rekan saya atau mungkin juga anda. Saat saya menjelaskan pada rekan saya, adalah penjelasan terkait kata "jiwa" sebagai akronim dari "mental" dalam dunia kedokteran. Kata "jiwa" pada dunia kedokteran mengandung makna sebagai bagian yang tak terpisahkan dari seseorang dan terlihat dari perilaku, pemikiran, dan ekspresi dari perasaan seseorang. Untuk itu ketika Anda menanyakan mengapa orang sakit jiwa berat itu bisa diobati, jawabannya karena penyakitnya ada pada bagian otak yang mengatur cara berpikir, merasakan sesuatu, dan melakukan sesuatu. Beberapa di antara Anda mungkin berpikir "gimana bisa, mereka kan kacau banget, dan aneh,... mereka kena kutuk, mereka gila" dan sebagainya. Hal yang Anda katakan adalah makna yang ditanamkan turun temurun oleh tetua kita tentang orang yang berperilaku seperti itu. Tanpa disadari kita telah tidak membantu mereka, karena telah menstigma dan membiarkan mereka bertambah sakit jiwa. Sebenarnya mereka mengalami penyakit pada fungsi otak yang mengatur berpikir, merasakan, dan melakukan sesuatu. Namun, kalau Anda meminta bukti penyakitnya berdasarkan pemeriksaan seperti MRI, CT Scan, Rontgen, atau pencitraan lainnya, maka kita kemungkinan tidak menemukan masalah. Banyak di antara Anda yang jadi bertanya,"lalu apa buktinya mereka bukan kerasukan setan... atau bukan diguna-guna..?". Buktinya adalah saat mereka diobati, mereka akan pulih seperti sebelumnya dan bersikap  normatif seperti kita. Walaupun beberapa pemeriksaan mungkin memberikan petunjuk tentang adanya fungsi otak terganggu misalnya melalui EEG, atau pun MRI atau CT Scan bisa mendapatkan abnormalitas walaupun bukan suatu kepastian. [caption id="" align="aligncenter" width="450" caption="Contoh gejala gangguan jiwa berat berupa Halusinasi Visual. (www.creativebathroomsandkitchens.co.uk/)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H