Mohon tunggu...
Ezra Sagabani Husodo
Ezra Sagabani Husodo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Psikologi Universitas Airlangga

Saya merupakan mahasiswa semester 2 di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga yang memiliki hobi menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sensasi Maya di Atas Nyawa

4 Juli 2022   23:51 Diperbarui: 5 Juli 2022   00:19 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa waktu lalu, internet dibuat ramai dengan video seorang pemuda di Riau yang ditarik oleh orangutan ketika ia melintasi pagar pembatas di salah satu kebun binatang untuk membuat konten video di salah satu media sosial. 

Tidak lama sebelum itu pula, warganet dihebohkan kisah tragis seorang remaja di Tangerang yang meninggal akibat terlindas truk ketika ingin melaksanakan sebuah tantangan bernama "Malaikat Maut" untuk diunggah sebagai konten video. 

Kedua kisah ini sungguh miris untuk didengar, namun tidak seberapa miris ketimbang fakta bahwa melakukan tindakan ekstrem yang membahayakan nyawa demi konten semata bukanlah hal yang baru. 

Diketahui bahwa tantangan "Malaikat Maut" bukanlah tantangan yang baru di dunia maya, melainkan sebuah tantangan yang sudah beredar lumayan lama di salah satu media sosial. Tantangan ini menguji para pembuat konten---yang umumnya merupakan para remaja---untuk menghentikan sebuah truk yang sedang melaju dengan menjulurkan tangan. Nahas, pelaksanaan tantangan ini justru berakhir dengan tragedi.

Sudah banyak laporan mengenai pembuatan konten di dunia maya yang berakhir fatal, dan hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Pada tahun 2017, konten video nekat berakhir nahas ketika pemuda asal Minnesota, AS, Pedro Ruiz, meninggal ketika pasangannya, Monalisa Perez, menembakkan peluru fatal pada Ruiz. 

Ruiz dan Perez merupakan kreator konten video di salah satu kanal YouTube yang sering membuat video lelucon atau prank. Saat itu, keduanya berniat untuk melakukan aksi berbahaya yang dapat menarik banyak audiens, dengan Perez menembakkan pistol ke Ruiz yang memegang sebuah ensiklopedia di depan dadanya untuk melihat apakah ensiklopedia tersebut dapat menghentikan pelurunya. 

Selain itu, pada tahun 2020, seorang remaja di Oklahoma meninggal akibat serangan jantung setelah meminum obat alergi dalam jumlah besar sebagai tantangan video di media sosial. Dan pada tahun ini, maraklah tantangan "Malaikat Maut" yang juga sudah memakan korban jiwa. Nyawa sudah berjatuhan, namun tetap saja konten-konten maut ini tidak ada habisnya.

Dunia sudah modern. Seiring berkembangnya dunia, teknologi pun semakin maju. Dunia maya menjadi hal esensial yang sulit dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Namun, semakin hari, rasanya semakin sulit untuk membedakan prioritas dalam kehidupan; eksistensi maya menjadi sama signifikannya dengan eksistensi riil. 

Setiap orang berlomba-lomba menciptakan sensasi yang menggemparkan dunia di belakang layar, bertarung untuk menjadi yang terbaru dan terbeda. Lantas, mengapa kemudian orang-orang nekat melakukan aksi yang membahayakan nyawa mereka semata karena ingin mencari perhatian di internet?

Merangkum bacaan dari berbagai jurnal, saya memuntal empat alasan utama yang menyebabkan perilaku nekat demi konten masih beredar dan subur di dunia maya. Yang pertama adalah tingginya penggunaan internet sebagai wadah penyaluran emosi. Jika ditelusuri, kita dapat melihat bahwa sebagian besar pembuat konten nekat ini merupakan para remaja. 

Pada umumnya, pemuda dalam rentang usia 10-19 tahun tengah berada di fase ketidakstabilan emosi. Pergejolakan emosi remaja yang tidak stabil dapat mendorong mereka untuk melakukan hal-hal ekstrem dan berisiko demi menarik perhatian khayalak. Perlakuan ini juga merupakan dorongan alami manusia yang ingin terlihat sebagai yang terbaik dan superior.

Yang kedua adalah ketidakmampuan untuk membedakan realita dan dunia maya. Karena banyaknya kebutuhan dan kegiatan sehari-hari yang tumpang tindih dengan kegiatan di sosial media, dinding pemisah antara dunia nyata dan dunia maya menjadi semakin tipis. Perlahan-lahan, kehidupan kita bergeser. 

Eksistensi maya menjadi lebih berarti ketimbang kehidupan nyata. Dan setelah itu, kita mengalami kesulitan untuk menitikberatkan prioritas kehidupan.

Yang ketiga merupakan istilah yang tengah beken di kalangan muda, yakni FOMO atau Fear of Missing Out. Secara harfiah, istilah ini dapat diterjemahkan menjadi rasa takut akan ketertinggalan. Perasaan FOMO dapat didefinisikan sebagai anggapan bahwa orang lain merasakan pengalaman yang lebih menyenangkan dari dirinya, sehingga mendorong seseorang untuk melakukan hal yang sama. Fenomena FOMO semakin menjamur dengan adanya ketergantungan terhadap media sosial, karena para penggunanya cenderung merasa harus mengikuti tren ataupun tantangan tertentu agar tidak merasa "tertinggal".

Yang terakhir didasari oleh teori psikolog humanistik Abraham Maslow, yakni teori mengenai aktualisasi diri. Dalam segitiga hierarki Maslow, kebutuhan akan aktualisasi diri merupakan tingkatan tertinggi yang melibatkan realisasi serta pemenuhan akan potensi, bakat, dan kemampuan seseorang. Jika aktualisasi diri tidak terpenuhi, maka seseorang dapat merasa gelisah, frustasi, atau bahkan merasa tidak puas terhadap hidupnya. 

Walaupun secara teoritis seseorang harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya agar bisa "naik" ke tingkatan berikutnya, beberapa orang melakukan pengecualian agar bisa langsung mencapai tahapan aktualisasi diri. Hal ini bukanlah hal yang baru; tokoh-tokoh religius dapat meninggalkan kebutuhan fisiologis dan keamanan mereka untuk mencapai aktualisasi diri. 

Tidak jarang pula seniman melakukan hal yang sama demi pekerjaan mereka. Sama halnya dengan para pembuat konten nekat yang mengabaikan kebutuhan fisiologis dan keamanan mereka demi memanjat langsung ke tingkat teratas segitiga hierarkis tersebut.

Akan tetapi, perlu diingat bahwa agar sebuah konten bisa disebut viral, dibutuhkan satu faktor yang krusial: penonton yang membuncah. Ada tiga faktor yang membuat seseorang begitu tertarik dengan konten-konten yang ekstrem, yakni novelty, curiosity, dan emotions. 

Manusia pada umumnya selalu tertarik dengan hal yang baru. Itulah mengapa konten yang monoton cenderung tidak sepopuler konten-konten drastis yang unik atau ekstrem. 

Ditemukan bahwa melihat ide yang segar, unik, dan baru, otak akan terpicu untuk memproduksi hormon dopamine yang membuat manusia merasa "dihargai" dan semangat. 

Selain itu, manusia cenderung memiliki rasa penasaran yang tinggi. Konten-konten nekat di internet umumnya menyajikan atau menantang audiensnya untuk menyaksikan, atau bahkan melakukan, aksi yang tidak terbayangkan sebelumnya. Hal ini memicu rasa penasaran tinggi yang akhirnya menjadi nilai jual dalam konten-konten tersebut. 

Manusia juga cenderung lebih menyukai hal-hal yang menyentuh emosi mereka. Umumnya, kita lebih menyukai hal yang mengubah emosi kita secara drastis, misalnya membuat kita merasa bahagia, sedih, ataupun takut. Konten-konten yang ekstrem akan memicu emosi yang membuat kita merasa waswas dan memicu adrenalin, sehingga lebih menarik perhatian.

Konten-konten ekstrem yang membahayakan nyawa tidak akan berhenti. Sebagai audiens, kita harus memiliki kesadaran diri untuk memilah tontonan kita di internet. Dan sebagai pengguna internet, perlu diingat bahwa untuk membuat sensasi di dunia maya tidak selalu harus dilakukan dengan mengorbankan nyawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun