Mohon tunggu...
Ezra Sagabani Husodo
Ezra Sagabani Husodo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Psikologi Universitas Airlangga

Saya merupakan mahasiswa semester 2 di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga yang memiliki hobi menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sensasi Maya di Atas Nyawa

4 Juli 2022   23:51 Diperbarui: 5 Juli 2022   00:19 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Yang kedua adalah ketidakmampuan untuk membedakan realita dan dunia maya. Karena banyaknya kebutuhan dan kegiatan sehari-hari yang tumpang tindih dengan kegiatan di sosial media, dinding pemisah antara dunia nyata dan dunia maya menjadi semakin tipis. Perlahan-lahan, kehidupan kita bergeser. 

Eksistensi maya menjadi lebih berarti ketimbang kehidupan nyata. Dan setelah itu, kita mengalami kesulitan untuk menitikberatkan prioritas kehidupan.

Yang ketiga merupakan istilah yang tengah beken di kalangan muda, yakni FOMO atau Fear of Missing Out. Secara harfiah, istilah ini dapat diterjemahkan menjadi rasa takut akan ketertinggalan. Perasaan FOMO dapat didefinisikan sebagai anggapan bahwa orang lain merasakan pengalaman yang lebih menyenangkan dari dirinya, sehingga mendorong seseorang untuk melakukan hal yang sama. Fenomena FOMO semakin menjamur dengan adanya ketergantungan terhadap media sosial, karena para penggunanya cenderung merasa harus mengikuti tren ataupun tantangan tertentu agar tidak merasa "tertinggal".

Yang terakhir didasari oleh teori psikolog humanistik Abraham Maslow, yakni teori mengenai aktualisasi diri. Dalam segitiga hierarki Maslow, kebutuhan akan aktualisasi diri merupakan tingkatan tertinggi yang melibatkan realisasi serta pemenuhan akan potensi, bakat, dan kemampuan seseorang. Jika aktualisasi diri tidak terpenuhi, maka seseorang dapat merasa gelisah, frustasi, atau bahkan merasa tidak puas terhadap hidupnya. 

Walaupun secara teoritis seseorang harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya agar bisa "naik" ke tingkatan berikutnya, beberapa orang melakukan pengecualian agar bisa langsung mencapai tahapan aktualisasi diri. Hal ini bukanlah hal yang baru; tokoh-tokoh religius dapat meninggalkan kebutuhan fisiologis dan keamanan mereka untuk mencapai aktualisasi diri. 

Tidak jarang pula seniman melakukan hal yang sama demi pekerjaan mereka. Sama halnya dengan para pembuat konten nekat yang mengabaikan kebutuhan fisiologis dan keamanan mereka demi memanjat langsung ke tingkat teratas segitiga hierarkis tersebut.

Akan tetapi, perlu diingat bahwa agar sebuah konten bisa disebut viral, dibutuhkan satu faktor yang krusial: penonton yang membuncah. Ada tiga faktor yang membuat seseorang begitu tertarik dengan konten-konten yang ekstrem, yakni novelty, curiosity, dan emotions. 

Manusia pada umumnya selalu tertarik dengan hal yang baru. Itulah mengapa konten yang monoton cenderung tidak sepopuler konten-konten drastis yang unik atau ekstrem. 

Ditemukan bahwa melihat ide yang segar, unik, dan baru, otak akan terpicu untuk memproduksi hormon dopamine yang membuat manusia merasa "dihargai" dan semangat. 

Selain itu, manusia cenderung memiliki rasa penasaran yang tinggi. Konten-konten nekat di internet umumnya menyajikan atau menantang audiensnya untuk menyaksikan, atau bahkan melakukan, aksi yang tidak terbayangkan sebelumnya. Hal ini memicu rasa penasaran tinggi yang akhirnya menjadi nilai jual dalam konten-konten tersebut. 

Manusia juga cenderung lebih menyukai hal-hal yang menyentuh emosi mereka. Umumnya, kita lebih menyukai hal yang mengubah emosi kita secara drastis, misalnya membuat kita merasa bahagia, sedih, ataupun takut. Konten-konten yang ekstrem akan memicu emosi yang membuat kita merasa waswas dan memicu adrenalin, sehingga lebih menarik perhatian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun