Sudah 2 Dekade LebihÂ
Proyek reklamasi di Teluk Jakarta mempunyai sejarah panjang dan masih akan berlanjut, bukan hanya dari sisi lingkungan yang selama ini menjadi "pembungkus" isu tersebut, tetapi juga drama politik antar institusi negara. Perbedaan sudut pandang terjadi antara Pemerintah Pusat dan Pemda DKI, dan di internal Pemerintah Pusat. Kemenko Maritim, Kementerian Kelautan Perikanan, dan Kementerian Lingkungan Hidup, adalah beberapa institusi negara yang memiliki pendapat berbeda mengenai reklamasi.
Reklamasi sendiri sudah di rencanakan dan menjadi perhatian sejak awal tahun 1990-an. Hal ini dimantapkan dengan dikeluarkannya Keppres No. 52 pada tanggal 13 Juli tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang ditetapkan oleh Presiden Soeharto (LBH Jakarta, 2013). Tahun 2003, Kementerian KLH menyatakan proyek reklamasi berdampak buruk bagi lingkungan, dan tak dapat diteruskan. Mahkamah Agung pada tahun 2011, menyatakan proyek reklamasi itu legal. Putusan ini mengkoreksi putusan 2009 yang menyatakan reklamasi tak lolos AMDAL. Tahun 2015, Kementerian KP menyatakan moratorium untuk reklamasi karena di luar peruntukan pelabuhan, bandara, dan listrik. Tahun 2017, dalam kampanye Pilkada, Anies berjanji akan menyetop reklamasi. Puncaknya, Gubernur Anies Baswedan mencabut ijin reklamasi 13 dari 17 Pulau yang di tetapkan pada Sepetember 2018.
4 Pulau yang TerlanjurÂ
Sudah ada 4 pulau yang dibangun di Teluk Jakarta, kondisi tersebut tentunya akan mempengaruhi kondisi lingkungan yang ada. Permasalahan lingkungan yang dikhawatirkan banyak pihak seperti berkurangnya daerah tangkapan nelayan, terhambatnya aliran sungai yang bermuara di  Teluk Jakarta, banjir yang main parah sampai konflik sosial  dengan para nelayan menjadi sorotan utama terhadap proyek reklamasi tersebut. Salah satu isu penting dari pembangunan Pulau reklamasi adalah adanya permintaan air bersih di pulau baru tersebut. Sampai saat ini penduduk di wilayah utara Jakarta sendiri belum mendapatkan pasokan air bersih dari PDAM, bahkan warga di salah satu perkampungan di Jakarta Utara harus membeli air bersih dengan membawa jerigen. Mereka menghabiskan uang sebanyak Rp. 300.000 per bulan hanya untuk membeli 6 meter kubik air bersih.
Perlu di ingat bahwa air tawar adalah sumberdaya alam terbatas, terkadang kita melupakan hal tersebut dan menggunakan lebih dari yang kita perlukan. Daerah kota besar seperti DKI Jakarta mengalami pengambilan sumberdaya air tanah yang besar, hal tersebut di tandai dengan adanya penurunan permukaan tanah Jakarta hingga di bawah ketinggian air laut. Hal tersebut di perparah dengan penyerapan air hujan yang sedikit di karenakan wilayah perkotaan sudah tertutup dengan beton dan bangunan sehingga menghalangi penyerapan air dan menipiskan cadangan air tanah.
 Menurut Prof Lambok Hutasoit, seorang Guru Besar di bidang Geologi dari ITB, pengambilan air tanah berkontribusi sebesar 17% terhadap amblesan total di daratan, penyebab lain beban bangunan, kompaksi alamiah, dan pergerakan tektonik. Saat ini menurut data beliau, 60% penduduk Jakarta menggunakan air tanah sebagai sumber air bersih.
Artikel ini selanjutnya akan membahas jika seandainya pulau reklamasi yang sudah "terlanjur" dibuat, bisa dialih-fungsikan menjadi fasilitas yang dapat menyelesaikan salah satu permasalahan yang di hadapi oleh penduduk Jakarta. Sebagai kota besar dengan penduduk kurang lebih 10 Juta penduduk (BPS 2015). Tentunya banyak masalah yang dapat muncul akibat banyaknya jumlah penduduk di suatu perkotaan. Salah satunya adalah tingginya kebutuhan akan air bersih. Kita semua tentu tidak menginginkan biaya mahal reklamasi ini sia-sia begitu saja bukan? Alangkah baiknya juga jika pulau-pulau ini bisa bermanfaat menjadi solusi, sesuai nama yang diberikan Pak Anies, yaitu Pulau "Kita Maju Bersama".
"Tahukah kamu bahwa biaya untuk mereklamasi satu pulau di Teluk Jakarta mencapai Rp 3 Triliun rupiah!" (kbr.id)
Sebagai contoh, Singapore, dalam menghadapi persoalan air bersih tersebut menjadi salah satu negara yang memiliki fasilitas pengolahan air bersih yang sangat baik. Singapore merupakan negara yang padat penduduk, dengan lebih dari 5,6 juta penduduk tinggal dalam area seluas 719 kilometer persegi. Walaupun hanya menerima hujan rata-rata 2,300 milimeter per tahun, Singapore mempunyai luas wilayah terbatas untuk mengumpulkan dan menyimpan air hujan. Dengan tidak adanya sungai yang besar ataupun danau, Singapore menduduki posisi ke 170 dari 193 negara untuk ketersedian sumberdaya air oleh United Nations World Water Development pada tahun 2006 (development.asia).