Saat ini, bumi telah mencapai suhu terpanasnya sejak tahun 1850 dengan kenaikan sebesar 1,63°C.Â
Data dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan bahwa, rata-rata suhu udara di Indonesia pada Juli 2024 adalah 26,98°C dengan peningkatan sebesar 0,85°C dari tahun 2023. Angka yang terlihat kecil ini ternyata memiliki ancaman yang sangat besar terhadap keberlangsungan makhluk hidup.  Peningkatan suhu ini menyebabkan terjadinya pemanasan global yang mempengaruhi pola cuaca. Perubahan pola cuaca yang terjadi menyebabkan fenomena cuaca ekstrem, seperti kekeringan yang berkepanjangan dan hujan lebat yang mengakibatkan banjir. Curah hujan dengan intensitas yang tinggi dan terjadi secara terus-menerus mendukung vektor, seperti nyamuk Aedesae untuk berkembang biak dan menyebarkan virus yang dapat meningkatkan risiko terjadinya wabah.
Dalam tiga dekade terakhir, insiden penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) mengalami peningkatan di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Penyakit DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes yang mengandung virus dengue. Indonesia menjadi salah satu negara di Asia Tenggara yang mengalami lonjakan kasus infeksi virus dengue di awal tahun 2024. Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa terdapat 19.709 kasus DBD di 465 Kabupaten/Kota dengan 777 kematian sampai dengan 3 Juni 2024. Lonjakan kasus yang tidak seperti biasanya ini disebut sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Â Jika kondisi ini menimbulkan malapetaka, seperti peningkatan kematian maka akan terjadi wabah DBD.
Dampak Perubahan Iklim terhadap Penyakit Menular
Perubahan iklim menjadi faktor pemicu perubahan lingkungan yang sangat berpengaruh pada penyebaran penyakit menular, seperti DBD. Perubahan iklim tersebut mencakup suhu, curah, hujan, dan kelembapan udara. Menurut World Health Organization (WHO), DBD menjadi penyakit dengan penyebaran paling cepat sehingga berpotensi menjadi pandemi. Hal ini didukung oleh data Kementerian Kesehatan RI dimana DBD masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa karena sejak pertama kali ditemukan di Indonesia tahun 1968, jumlah kasus DBD cenderung meningkat dengan daerah penyebaran yang semakin meluas.
Pengaruh Suhu, Curah Hujan, dan Kelembapan terhadap Populasi Nyamuk
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah salah satu penyakit menular yang ditandai oleh panas tinggi yang terjadi secara tiba-tiba dan berlangsung selama 2-7 hari tanpa sebab yang jelas disertai gejala lain, seperti tidak nafsu makan, mual, muntah, sakit kepala, nyeri ulu hati, bintik merah di kulit, dan mimisan. DBD disebabkan oleh infeksi virus dengue yang ditularkan melalui nyamuk Aedes. Habitat nyamuk Aedes sangat ditentukan oleh iklim yang mencakup suhu, curah hujan, dan kelembapan.
Suhu yang tinggi dapat merangsang perkembangbiakan vektor melalui percepatan siklus hidupnya. Vektor adalah organisme yang menularkan patogen dan parasit dari satu orang yang terinfeksi ke orang lain. Vektor utama penular DBD adalah Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Nyamuk Aedes aegypti memiliki siklus hidup dan kemampuan metabolisme yang sangat bergantung pada suhu lingkungan. Rata-rata suhu optimum yang diperlukan bagi pertumbuhan nyamuk berkisar 25-28°C. Ketika suhu berada di atas 28°C, siklus hidup nyamuk Aedes menjadi lebih pendek, tetapi potensi aktivitas menggigitnya menjadi lebih besar. Selain itu, bentuk tubuh nyamuk menjadi lebih mungil dari tubuh normalnya sehingga pergerakan nyamuk menjadi lebih agresif.
Dalam konteks curah hujan, intensitas yang tinggi dapat meningkatkan jumlah perindukan nyamuk melalui genangan air yang terbentuk sehingga populasinya meningkat. Selain itu, kelembaban udara ditemukan sebagai faktor paling penting pada penyakit DBD karena mempengaruhi penyebaran vektor dan penularan virus.