“Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”(Abraham Lincoln 1865). Faham ini begitu tumbuh subur di bumi eropa sejak dahulu dan menjadi terobosan langkah politik revolusioner masa itu. Berkembangnya faham liberal yang di usung oleh kaum borjuis ikut menyokong munculnya faham demokrasi. Ditengah euphoria pergolakan Eropa masa itu, faham demokrasi mulai dilirik oleh para ideolog bangsa disamping faham-faham lain yang muncul sebelumnya, termasuk Indonesia. Hal ini ditandai dengan diadakannya pemilu 1955 pertama kali untuk memilih anggota legislatif, Walaupun saat itu keamanan negara masih kurang kondusif.
“Bagaimana demokrasi Indonesia saat ini?”. Pertanyaan yang kerap dilontarkan oleh para mahasiswa pengkritisi sebagai penyampai, penggerak, dan pendobrak sistem bumi yang abstrak ini. Mungkin masih terngiang dalam benak kita ketika aksi besar-besaran pada penghujung tahun lalu tepatnya 4 November 2016. Aksi ini dilatar belakangi oleh kesalahan Ahok dalam berucap sehingga dianggap telah menistakan agama. Aksi ini dilakukan oleh puluhan kelompok yang mengatasnamakan pembela islam turut serta dalam gerombolan pendekar putih. Bahkan para mahasiswa penggertak Basuki pun terjun memenuhi jalanan ibukota.
Tidak terlupakan juga perdebatan antara mahasiswa dengan para birokrat kampus Indonesia dengan pro-kontra atas diadakannya uang pangkal disamping uang kuliah tunggal (UKT) yang harus dibayar oleh calon mahasiswa PTN jalur ujian mandiri, terutama PTN yang akan menyandang gelar Berbadan Hukum. Perdebatan isu ini membawa mahasiswa tergugah, tergerak, dan memanas dengan mata terbelalak ingin cepat turun ke jalan, demi melawan kebijakan kampus yang dianggap tidak adil itu. Pergerakan mahasiswa yang begitu cepat dalam melawan isu uang pangkal kian menyebar. Tahun lalu ribuan Mahasiswa di beberapa perguruan tinggi negeri saling berkumpul, dan saling menggenggam tangan demi menggapai impian adik tingkat calon mahasiswa yang akan masuk “kampus rakyat”, tetapi terbentengi oleh uang kuliah yang sangat mahal. Ribuan mahasiswa riuh menuntut keadilan untuk calon mahasiswa kelas bawah.
“Apa cara ini membawa keberhasilan?” jawabannya “iya”, karena mereka menuntut dengan cara yang rapih, berdasarkan berbagai riset dan kajian, tersusun, serta memiliki pondasi kuat atas tuntutan mereka. Lantas, bagaimana jika tuntutan ini dilakukan terlalu cepat? Tentu hanya akan berbuah kekosongan.
Masih pada kasus yang melibatkan mahasiswa, mereka sering melakukan aksi ke jalan, namun dengan pondasi seadanya, tanpa riset dan data yang pasti, hanya bermodal emosi, apalagi membawa massa yang tidak sampai 10 orang. Apabila seperti ini, Siapa yang akan mendengar jeritan kita? Mungkin para birokrat hanya duduk pada kursi mewahnya sambil tertawa setan melihat video teriakan tidak jelas di media elektronik. Aksi dengan latar belakang dan riset tidak jelas juga hanya akan berujung pada anarkisme, keributan, dan keegoisan semata yang hanya akan membawa masalah baru bagi peradaban bangsa.
Berawal dari semua masalah dan fakta, diperlukan suatu pemikiran yang tepat, terarah, dan berkelanjutan. Mungkin bagi mahasiswa Universitas Diponegoro Semarang, sudah menjadi hal umum apabila dalam menanggapi suatu kasus atau isu kemahasiswaan maupun masalah masyarakat dan negara, hal yang pertama dilakukan mahasiswa Undip tidaklah langsung turun ke jalan dan melakukan aksi bakar ban disertai letupan petasan. Tetapi, langkah pertama mereka adalah dengan melakukan pengumpulan data, melakukan riset, melakukan beberapa kali kajian, dan menyusun strategi agar mampu didengar dunia, barulah aksi turun ke jalan.
“Kenapa harus demo? Kenapa mahasiswa di negeri ini dikit-dikit demo? Mau kuliah apa mau Demo sih?”Lontaran pertanyaan masyarakat awam yang sering terdengar dan menggugah hati pikiran. Pada dasarnya kita memang harus turun ke jalan ketika suara kita tidak didengar. Namun, apakah harus dengan cara langsung turun ke jalan? Kali ini, Penulis mencoba memberi secolek ide dengan menyelipkan satu cara yang menurut penulis terlihat lebih rapih dan “Humanism”.
Penulis setuju dengan sistem aksi yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Diponegoro. Namun, alangkah baiknya jika setelah melakukan kajian, mereka membuat suatu kasus agar menjadi “viral” terlebih dahulu agar mahasiswa lain ikut mendengar. Caranya, organisasi mahasiswa (selanjutnya ditulis ormawa) harus melebur, bersatu saling menggenggam tangan. Di kampus dan lingkungan kampus, pasti ada lembaga pers yang selalu memata-matai kegiatan mahasiswan. Ormawa pers dapat menjadi media yang sangat efektif apabila digunakan dengan bijak dan tepat sasaran. Bukan untuk meliput aksi bakar ban, tetapi untuk membuat tulisan-tulisan tajam yang ditujukan bagi para birokrat.
Tulisan sesungguhnya lebih tajam daripada pedang mata intan. Kita bisa membuat tulisan sesuai apa yang telah dikaji. Apalagi jika kasusnya menyangkut kemahasiswaan. Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) akan menjadi media yang sangat efektif. Buatlah tulisan yang menyinggung sebuah kasus, menyertakan data konkret, dan memberikan pilihan solusi. Tidak perlu bersusah payah mencari jejak Dekan maupun Rektor yang sulit ditemui akibat alasan sibuk yang selalu dilontarkan oleh perwakilannya. Cukup memperbanyak tulisan hasil kajian, dengan mencantumkan judul dan cover majalah mengenai kasus utama yang bisa menggugah pembaca. Selanjutnya, simpan tulisan atau majalah di meja dosen setiap kelas untuk dibaca oleh seluruh mahasiswa dan seluruh civitas akademika.
Dosen merupakan jembatan terpendek yang bisa ditempuh agar sampai di telinga pejabat kampus. Dosen pasti memiliki waktu luang untuk membaca sebuah tulisan menggugah, yaitu ketika menghela nafas setelah maupun saat mengajar. Setelah dosen-dosen membaca, kemungkinan besar mereka akan berkomentar, dan saling beropini satu sama lain dengan dosen berbeda, entah sambil ngopi di burjo ataupun sekadar “Ngerumpi” di ruang dosen. Kemungkinan besarnya jika sudah sampai di dosen dan diketahui seluruh warga kampus, akan sangat mudah mecetak gol atas apa yang kita inginkan dari pejabat kampus.
Apabila pemberitaan sudah riuh, tetapi masih saja belum mendapat respon memuaskan, barulah kita mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya, berbondong-bondong memangku tangan menyuarakan jeritan rakyat. Seorang pejabat yang baik tidak mungkin membiarkan rakyatnya menderita apalagi jika kasusnya sudah menyebar kemana-mana. Pejabat bijak tidak akan menyuruh wakilnya keluar untuk menghadapi rakyat yang sudah berteriak di depan ruangannya. Pejabat berjiwa pemimpin pasti akan menemui rakyatnya dan menyelesaikan masalah bersama. Dan rakyat yang kritis tidak akan melakukan tindakan anarkis.