"Koalisi Gemuk" yakni ketika parlemen dikuasai oleh partai politik yang sebagian besar menjadi partai koalisi pendukung pemerintah. Ajakan kerja sama dan kolaborasi yang disampaikan oleh Prabowo kepada para pemimpin partai politik adalah upaya dalam membentuk Koalisi Gemuk pendukung pemerintah -- legitimasi dan kekuatan bagi kekuasaan. Situasi tersebut kemudian mengingatkan penulis dengan apa yang disebut sebagai "cara berpikir Jawa tradisional" oleh Ben Anderson dalam bukunya yang berjudul REVOLOESI PEMOEDA: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Pembentukan Koalisi Gemuk dan juga isu bertambahnya jumlah kementerian menjadi representatif kekuatan bagi pemerintahan Prabowo persis dengan cara berpikir Jawa tradisional yang beranggapan bahwa kekuatan seorang raja diukur dari jumlah penghuni istana dan berlimpahnya hadiah-hadiah yang diberikan kepada mereka.
Beberapa waktu lalu, ada sebuah pesan penting dari Romo Franz Magnis yang harus dikutip dalam tulisan ini. Beliau berkata jika Indonesia tidak memiliki partai oposisi, maka perlahan demokrasi di negara ini akan sirna. Tidak akan ada lagi prinsip rule of law, yang ada hanyalah rule by law. Citra negara hukum (rechtstaat) semakin mengarah ke arah negara kekuasaan (machtstaat), ketika pemerintahan berjalan tanpa adanya partai oposisi maka yang terjadi pemerintah akan berada di atas hukum itu sendiri dan bebas berbuat apa saja. Dalam konteks ini, adanya Koalisi Gemuk akan membuat kekuatan oposisi menjadi lemah karena relasi antara eksekutif dan legislatif menjadi terkunci karena kepentingan elite. Oleh karena itu, Koalisi Gemuk akan menjadi ancaman yang serius bagi demokrasi di Indonesia karena konsekuensi logis dari adanya Koalisi Gemuk ini adalah produk-produk hukum yang dihasilkan hanya akan menjadi alat untuk memuluskan agenda kekuasaan dalam mempertahankan status quo.
Dalam buku yang sama Levitsky & Ziblatt juga menjelaskan pentingnya menjaga kelangsungan demokrasi dengan norma yang kemudian disebut "sikap menahan diri secara kelembagaan" (institutional forbearance) atau tindakan untuk tidak menggunakan suatu hak yang legal. Bayangkan demokrasi sebagai sebuah permainan yang ingin kita mainkan selama-lamanya, maka untuk memastikan permainan itu terus berlangsung mesti ada sikap menahan diri untuk mencegah hal-hal yang bisa menghentikan permainan. Jika benar dikatakan bahwa Prabowo adalah seorang yang demokratis, mestinya sikap menahan diri itu ada di dalam dirinya. Walaupun Koalisi Gemuk ini merupakan hak yang legal dan memang akan sangat membantu jalannya pemerintahan karena akan terjadinya stabilitas politik, tetapi jika hal tersebut kemudian mengancam permainan berhenti, sebagai seorang yang demokratis, tentu saja ia akan menahan diri demi menjaga kelangsungan permainan yang seterusnya ingin ia mainkan.
Konsep Politik TindakanÂ
Konsep Politik Tindakan diperkenalkan oleh Hannah Arendt -- seorang filsuf dan teoritikus politik terkemuka di abad ke-20. Dalam ilmu politik dikatakan bahwa kekuasaan itu berarti kemampuan untuk memberi pengaruh. Akan tetapi, terminologi kekuasaan dalam pemahaman Arendt sedikit berbeda karena kekuasaan itu melibatkan orang lain yang kemudian disebut sebagai "politik tindakan". Tindakan adalah satu-satunya aktivitas manusia yang berhubungan langsung tanpa diperantarai oleh sesuatu yang sesuai dengan kondisi pluralitas manusia. Pluralitas secara khusus merupakan sebuah keniscayaan bagi semua kehidupan politik.
Makna sebenarnya dari politik adalah kebebasan, dipahami secara negatif sebagai tidak dikuasai atau menguasai dan secara positif berarti ruang yang diciptakan hanya oleh manusia yang memungkinkan dirinya bergerak secara setara di antara sesamanya. Kebebasan adalah tujuan langsung tindakan politik dan ia adalah alasan mengapa manusia hidup bersama dalam suatu organisasi politik. Tanpa kebebasan, kehidupan politik menjadi tidak bermakna. Bebas dari pengendalian mekanisme alamiah dan dominasi hierarkis. Berpolitik adalah tindakan politis yang dilakukan dalam ruang publik. Fungsi ruang publik adalah memberi terang pada tindakan dan perkataan.
Secara sengaja tulisan ini mengutip gagasan Arendt yang bertujuan memberikan pemahaman bersama bahwa tindakan politik semestinya dijalankan untuk kebaikan bersama (common good). Arendt memberikan suatu makna penting mengenai politik dan kekuasaan. Dalam konteks ini, ajakan kerja sama dan kolaborasi dari Prabowo kepada para pemimpin partai politik tidak menunjukkan implikasi common good. Pembentukan koalisi gemuk dengan meniadakan oposisi merupakan suatu tindakan politik yang bergerak secara tidak setara, karena hanya menjadi kepentingan bagi elite dalam mempertahankan kekuasaan.
Negara Demokrasi tanpa Oposisi
Dalam sebuah negara demokrasi, demokrasi akan lebih sehat dan kuat jika pemerintahan memberikan ruang gerak yang luas terhadap eksistensi oposisi. Dalam realitas politik di suatu negara demokrasi, pengakuan dan pelaksanaan demokrasi tidak akan mempunyai banyak arti jika pemerintahan berjalan tanpa pengimbang dan kontrol yang efektif dari oposisi. Seperti pernyataan yang sering kita dengar dari Lord Acton, "Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely" Pemerintahan yang demikian akan mengarah lebih dekat dengan bentuk pemerintahan oligarkis dan otoriter ketimbang pemerintahan demokratis.
Walaupun demokrasi bukanlah sebuah sistem yang paling sempurna dan banyak kekurangan, tetapi ia menjadi yang terbaik dari yang terburuk. Dalam sebuah tayangan di kanal YouTube Gita Wirjawan, ada sebuah pandangan menarik mengenai demokrasi yang disampaikan oleh mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, "Demokrasi bukanlah sistem yang sempurna, ada plus minusnya, ada wajah baik dan wajah buruknya. But to me, I Love Democracy".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H