Mohon tunggu...
Eza Ihza Mahendra
Eza Ihza Mahendra Mohon Tunggu... Guru - Alumni Pendidikan Sejarah UNJ dan Pendidikan Profesi Guru UNTIRTA

Teaching and Education • History Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Persatuan Perjuangan: Gerakan Oposisi Masa Revolusi

4 Oktober 2024   21:45 Diperbarui: 5 Oktober 2024   00:21 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Sutan Sjahrir (ANRI)

Salah satu dari sekian banyak paradoks di masa revolusi adalah mengambil sebuah pilihan dalam suatu persimpangan jalan antara: Diplomasi dan Perjuangan. Di mana setiap pilihan menjadi suatu hal yang mendasar bagi pemerintah merumuskan gerakan nasional dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dalam situasi tersebut, posisi pemerintah menjadi rentan karena setiap pilihan yang diambil mempunyai logika dan implikasi yang saling bertentangan.

Diplomasi vs Perjuangan

Logika mengambil jalan diplomasi didasarkan pada suatu pandangan pesimisme atas keseimbangan kekuatan dunia. Bagi mereka yang mendukung pandangan ini, tercapainya kesepakatan dalam berunding dengan Belanda yang dijamin oleh kekuatan-kekuatan besar dunia menjadi jalan yang sangat masuk akal untuk diambil, karena orang-orang yang mendukung pandangan ini banyak dihantui oleh segala realitas (kelemahan dari segi organisasi, militer, dan ideologi) yang ada. Oleh karena itu, diplomasi dalam pengertian yang luas adalah satu-satunya kunci bagi kelangsungan hidup Republik Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya. Akan tetapi, implikasi dari kebijakan diplomasi menuntut agar pemuda dikendalikan, harta benda asing dilindungi, dan aksi-aksi revolusioner harus di tindas. Dengan demikian, logika diplomasi yang mengharuskan adanya konsesi dengan Belanda membuat segalanya menjadi sulit untuk dilaksanakan.

Foto: Gerakan Pemuda (REUTERS/NIMH/COLLECTION STOOTTROEPEN MUS)
Foto: Gerakan Pemuda (REUTERS/NIMH/COLLECTION STOOTTROEPEN MUS)
Logika perjuangan menunjuk ke arah yang sama sekali berbeda. Ia didasari pada suatu pandangan optimisme teguh mengenai keampuhan suatu gerakan revolusioner nasional yang dipimpin dan didukung oleh kekuatan yang sepenuhnya dari harapan-harapan dan tenaga-tenaga masyarakat Indonesia sendiri. Gagasan perjuangan berlandaskan pada kenyataan bahwa perjuangan bersenjata tidak dapat dihindari. Bagi mereka para pendukung pandangan ini (umumnya kurang memiliki kesadaran politik), perjuangan mempertahankan kemerdekaan lebih dimaknai sebagai kenyataan hidup alih-alih sebagai tujuan. Kemerdekaan bukanlah suatu transaksi internasional, melainkan pengalaman batin.

Dengan caranya sendiri, jalan perjuangan menjadi sebuah pertaruhan yang tidak kalah dibanding diplomasi, meskipun Indonesia terfragmentasi secara sosial dan geografis, meskipun ada kekacauan ideologi dan organisasi, meskipun ada masalah kurangnya persenjataan dan pasukan militer yang terlatih, akan tetapi bangsa Indonesia masih bisa membangun suatu gerakan yang terpadu dan menemukan jalannya dalam merumuskan gerakan nasional. Terbentuknya Persatuan Perjuangan menjadi wadah persatuan bagi para pendukung 'logika perjuangan' dan menjadi langkah yang logis dalam hal membangun suatu gerakan nasional, yang nantinya akan menjadi sebuah gerakan oposisi bagi pemerintahan kabinet Sjahrir yang lebih memilih untuk menempuh gerakan nasional melalui jalan diplomasi.

Kabinet Sjahrir

Foto: Sutan Sjahrir (ANRI)
Foto: Sutan Sjahrir (ANRI)
Terbentuknya Kabinet Sjahrir I pada 14 November 1945 dalam tampuk kekuasaan juga menjadi salah satu paradoks yang terjadi di masa revolusi. Faktor-faktor dan kekuatan di balik naiknya Sjahrir dan Amir ke tampuk kekuasaan dengan memanfaatkan isu "kolaborator" terhadap Kabinet Bucho (Kepala), dengan tajam memecah belah elite politik nasional dan ikut menghalangi upaya terbentuknya pemerintah kesatuan nasional yang kuat. Dengan demikian, naiknya Sjahrir dan Amir ke tampuk kekuasaan dibarengi dengan terbentuknya suatu gerakan oposisi yang kuat terhadap mereka.

Sejak dilantiknya Sjahrir sebagai perdana menteri, sudah siap pula unsur-unsur oposisi yang patut diperhitungkan. Kabinet mudah diserang terutama karena dua hal; Pertama, ia jelas-jelas tidak mewakili semua golongan, karena komposisi Kabinet Sjahrir didominasi oleh pemimpin-pemimpin Partai Sosialis (partai pemerintah), sehingga akan sangat sulit bagi kabinet mengklaim dirinya sebagai pemerintah kesatuan nasional. Kedua, program-program dari Kabinet Sjahrir yang lebih memilih untuk membuka perundingan dengan Belanda, memperlihatkan bahwa Kabinet lebih mengutamakan jalan diplomasi dari pada perlawanan bersenjata.

Selain itu, posisi kabinet makin diperparah karena dalam upayanya menundukkan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) kepada kemauannya tidak sepenuhnya berhasil. Malahan membuat pemimpin TKR semakin bertekad untuk memperkuat otonomi mereka sendiri sambil berusaha mencari sekutu di kalangan politisi dan organisasi-organisasi pemuda. Hal tersebut bisa dilihat dengan bergabungnya Panglima Besar Jenderal Sudirman ke dalam konferensi front perjuangan rakyat kedua di Surakarta pada 15 dan 16 Januari 1946. Dalam konferensi itu, Jenderal Sudirman secara terang-terangan menyatakan penentangannya terhadap kabinet yang lebih mengutamakan jalan diplomasi, dan dalam kongres itu ia juga mengatakan kepada pendengarnya, "lebih baik diatoom sama sekali dari pada tidak merdeka 100%".

Dalam situasi tersebut, berkembang cepatnya kelompok-kelompok penentang pemerintah dengan ditambah adanya kelemahan pemerintah itu sendiri, gerakan oposisi hanya perlu suatu tokoh dan program untuk menentang pemerintahan dan mempercepat krisis pemerintahan.

Persatuan Perjuangan

Foto: Sudirman dan Tan Malaka (Komunitas Bambu)
Foto: Sudirman dan Tan Malaka (Komunitas Bambu)

Tan Malaka sosok legendaris yang penuh teka-teki, peranannya yang mengagumkan pada 1920an dan kariernya yang sangat misterius setelah itu, yang kemudian memberikannya aura legendaris tersebut, dan aura inilah yang kemudian menggoda berbagai macam golongan untuk memperalatnya. Ketika perundingan langsung dimulai begitu Kabinet Sjahrir terbentuk, dari pengorbanan dan "fanatisme" yang sama, Tan Malaka menarik kesimpulan yang sangat berkebalikan. Bagi Tan Malaka, tekad untuk melawan Sekutu dan Belanda dengan jelas tampak terlihat dari pertempuran yang ia saksikan sendiri di sekelilingnya, artinya rakyat Indonesia lebih memilih untuk melakukan gerakan perlawanan bersenjata dalam menghadapi Sekutu dan Belanda, menurutnya yang kurang hanyalah pengorganisasian dan kepemimpinan yang terkoordinasi.

Tan Malaka kemudian tampil untuk mengisi peran penting dalam gerakan oposisi dengan sebuah programnya yang ia sebut sebagai Minimum Program yang termuat dalam sebuah pamflet berjudul "Moeslihat" yang terbit di Surabaya pada 2 Desember 1945. Dalam programnya tersebut yang berisikan tujuh inti pokok itu, ia mendesak agar golongan-golongan sosialis, agama, dan nasionalis semuanya bersatu ke dalam front perjuangan rakyat yang berfokus kepada "Merdeka 100%".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun