Akhir-akhir ini, hampir setiap hari pada saat memantau berita baik di televisi, media online maupun media cetak, kita disuguhi berita tentang kekerasan fisik yang terjadi dimana-mana. Tawuran pelajar, tawuran mahasiswa, bentrok antara pengunjuk rasa dengan aparat, tawuran antar kampung di Papua, NTB, NTT, Sulawesi, Sumatera dan seterusnya. Di awal tahun 2000-an, kita dikejutkan dengan pertumpahan darah (lebih tepat disebut pembantaian) etnis Madura oleh etnis lokal di Sampit, Kalimantan. Miris rasanya melihat korban yang berjatuhan. Adapun keluarga korban yang selamat, akan merasakan trauma yang berat dan menyimpan dendam kesumat yang dipendam dalam hati sanubarinya. Sewaktu-waktu, dendam ini dapat ditumpahkan bila ada kesempatan di kemudian hari dan akhirnya akan membentuk siklus dendam yang tidak berujung.
Menurut berita hampir disemua televisi yang juga banyak menelan korban adalah bentrokan antar warga di Lampung Selatan, hingga tanggal 1 Nopember 2012 kemarin diberitakan bahwa korban meninggal sudah mencapai 14 orang. Sungguh sangat disayangkan 14 nyawa melayang sia-sia hanya karena bentrokan yang dipicu oleh hal yang sebenarnya sepele. Jika benar pemicunya adalah pelecehan seksual terhadap gadis dari etnis lokal yang sedang mengendarai sepeda motor hingga terjatuh dan lecet oleh beberapa oknum pemuda pendatang. Menurut akal sehat kita, seharusnya oknum pemuda pendatang yang mengganggu itu lah yang ditangkap secepatnya oleh polisi dan dihukum dengan menggunakan hukum positif yang berlaku. Secara naluriah, biasanya, warga lokal yang marah akan melampiaskan kemarahannya kepada pemuda pengganggu tersebut, jika pemuda penggangu sudah ditahan polisi, tentulah warga lokal akan mendatangi kantor polisi (secara teori, polisi akan lebih mudah mengendalikannya). Namun saya belum mendapatkan info, mengapa warga lokal memilih menyerang perkampungan warga dari etnis Bali,tempat tinggal pemuda penganggu tersebut. Apakah karena pemuda penganggu belum ditahan atau ada sebab lainnya. Karena penyerangan pertama ini mendapatkan perlawanan dari pihak yang diserang, maka pihak penyerang mengumpulkan lebih banyak orang untuk menghakimi pemuda pendatang yang menggangu tadi berikut orang-orang yang sebenarnya hanya mempertahankan diri. Jadilah perang antar sesama saudara setanah air, korbanpun berjatuhan tidak peduli orang dewasa atau anak-anak, laki-laki atau perempuan, bersalah atau tidak bersalah. Hati kitapun bertanya, patutkah luka lecet yang diderita si gadis dibalas dengan kehilangan rumah bahkan belasan nyawa?
Mengapa akhir-akhir ini di negeri yang konon katanya dihuni orang-orang yang lemah lembut, santun dan berbudaya, dengan mudahnya orang atau sekelompok orang melakukan kekerasan fisik terhadap orang atau kelompok orang lain? Banyak pengamat sosial berpendapat bahwa ada ‘sesuatu’ yang salah di negeri ini.
Meminjam pendapat Buya Syafi’i Ma’arif beberapa waktu yang lalu bahwa negeri ini sangat wajar jika terpuruk, karena ‘akal’ manusianya dikelola oleh lembaga yang banyak berisi oknum korup (kementrian pendidikan), ‘hati’ manusianya dikelola oleh lembaga yang juga banyak berisi oknum korup (kementrian agama), ‘jasad’ manusianya pun dikelola oleh lembaga yang banyak berisi oknum nan tak kalah korup (kementrian kesehatan).
Bagaimana mungkin negeri ini akan menjadi baik, jika akal, jiwa dan raga manusianya tidak dikelola dengan baik? Ada pepatah yang terkenal di Amerika, yaitu Murphy’s Law:”Anything that can go wrong will go wrong”. Kelihatannya, kondisi di negeri tercinta saat ini ‘memenuhi’ pepatah diatas. Tatanan kehidupan social kita mengalami setback, yaitu lebih mengedepankan sifat-sifat primordialisme ketimbang musyawarah (akhlaqul karimah). Dimulai dari sistim pendidikan yang tidak berorientasi moral (akhlaq) akan menghasilkan manusia-manusia yang rendah moralnya. Manusia-manusia ini nantinya menjadi orang tua dan akan mendidik anaknya sebagaimana dia dididik. Manusia-manusia produk sistim pendidikan yang bobrok ini menganggap halal praktek suap/sogok sebagai ‘bagi-bagi rezeki’, menganggap membunuh saudaranya sendiri sebagai ‘jihad’ dan menganggap halal darah orang yang tidak seiman. Menganggap uang hasil korupsi dapat ‘disucikan’ dengan membangun tempat ibadah atau membantu yayasan sosial. Penegak hukum nya pun ragu untuk menegakkan hukum karena takut melanggar HAM. Ditingkat yang lebih tinggi, sistim demokrasi kita memaksa kita memilih pemimpin bukan yang kita kehendaki, namun karena calon pemimpin itu ‘dipilihkan’ oleh partai politik yang (banyak) korup pula, sehingga banyak pemimpin dipilih bukan karena kompetensi dan akhlaq yang baik, namun lebih karena dicalonkan atau karena banyak uang. Kesimpulannya, dari suatu sistim yang buruk jelas akan menghasilkan produk yang tak kalah buruk pula.
Format Reformasi yang kita dijalankan selama 14 tahun ini selayaknya sudah harus dikaji ulang, apakah nilai-nilai demokrasi liberal yang berasal dari peradaban Barat ini cocok diterapkan di negeri Timur ini? Bangsa ini haruslah meng-introspeksi diri untuk mengenal siapa dirinya, sedang berada dimana dan kemana akan pergi. Rencana Menteri Pendidikan M. Nuh untuk merubah kurikulum pendidikan tahun 2013 yang akan datang dengan menambah pelajaran yang berbasis moral dan agama, memang perlu diapresiasi. Hal ini untuk menjawab banyaknya tawuran antar pelajar yang berpuncak pada meninggalnya seorang siswa SMA Negeri di Jakarta Selatan baru-baru ini. Namun pertanyaannya, apakah kebiasaan bangsa ini yang selalu tergesa-gesa merumuskan suatu perubahan setelah jatuhnya banyak korban nyawa harus terus dipertahankan? Wallahua’lam…
Balikpapan, 2 Nop 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H