"Umpasa itu, jejak nenek moyang kita. Itu semua adalah nasihat dan doa yang diwariskan turun-temurun dari mereka yang hidup sebelum kita. Dengan kita yang memeliharanya, kita juga ikut menjaga mereka tetap hidup dalam hati kita," ucap Oppung. Lasma terdiam mencerna kata-kata Oppung.
"Jadi, Oppung, inikah yang dinamakan warisan abadi?" tanya Bang Jo penasaran. Oppung mengangguk pelan, "Betul," katanya.
"Tapi, Oppung, zaman sekarang 'kan, orang lebih banyak pakai bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Kalau pakai bahasa daerah seperti bahasa Batak, rasanya kurang relevan," ujar Lasma.
Oppung tersenyum, lalu mengusap buku di tangannya. "Kau tahu, Lasma, bukan soal relevan atau tidaknya. Bahasa dan sastra itu seperti akar pohon. Semakin kuat akarnya, semakin kokoh pohonnya tumbuh. Jika kau tahu dari mana kau berasal, kau akan lebih dihargai ke mana kau akan pergi."
"OH! Seperti yang ada di film Batak di bioskop itu, ya? Yang penting bukan namamu, tapi margamu. Gitu'kan Oppung?" timpal Bang Jo lagi. Oppung kemudian tertawa pelan, "Ya, tidak begitu juga Jo. Selain itu, nomornya pun kita harus tau, biar kita tau panggil orang apa atau orang panggil kita apa."Â
Bang Jo mengangguk kikuk. "Tapi 'kan Oppung, gak mungkin kita panggil Oppung sama yang lebih muda," tanya Bang Jo lagi. "Kalau begitu tergantung situasi, Jo," jawab Oppung.
"Jadi, apa semua umpasa itu tentang kata-kata bijak?" tanya Lasma, kini lebih serius.
"Tidak selalu," jawab kakek sambil mengangguk. "Ada umpasa untuk hampir segala hal. Umpasa adalah cara kita mengungkapkan hal-hal penting dalam hidup. Misalnya..." Kakek terdiam sejenak, mengingat-ingat sebuah umpasa.
"Halak na burju marnatua-tua, dapotan pasu-pasu sian Debata. Artinya, orang yang baik kepada orang tua akan diberkati Tuhan. Itu termasuk nasihat untuk berbuat baik kepada orang tua kita," kata Oppung sebelum pergi ke kamar tidurnya.
Lasma tersentuh, hatinya sedikit bergetar mendengar umpasa yang begitu sederhana tapi begitu bermakna. Kini Lasma mengerti sedikit, mengapa bahasa Batak dan umpasa begitu penting bagi Oppung. Itu bukan hanya kata-kata; itu adalah cinta, kenangan, dan penghubung pada sesuatu yang lebih besar daripada dirinya sendiri. Oppung pun pergi ke kamarnya untuk tidur.
Setelah mendengar ucapan Oppung, kini Lasma jadi tertarik dengan cerita rakyat Batak Oppung yang Lasma lewatkan tadi siang. Lasma pun meminta adiknya, Duma, untuk menceritakan kembali cerita-cerita rakyat yang disampaikan Oppung tadi siang di kamar mereka. Sementara itu, Bang Jo sibuk menulis jurnal selama liburan untuk ia bacakan saat hari sekolah tiba di depan kelasnya.