Libur panjang usai sekolah membawa perjalanan bagi Lasma untuk sampai ke rumah Kakek Binsar. Rumah Oppung sangat jauh, begitulah Lasma memanggil kakeknya dengan sebutan Oppung, Oppung Doli yang berarti kakek dan Oppung Boru yang berarti nenek. Tentu saja, Lasma tidak pergi sendiri. Ia pergi bersama dengan Bapak, Mama, Abang Jonathan, dan adik bungsunya Dumaria.
Sesampainya di rumah Oppung, Duma, adik kecil Lasma, dengan kegirangan menghampiri Oppung Binsar yang sudah sejak pagi duduk di teras menunggu mereka datang. Lasma sebenarnya tidak begitu tertarik untuk ikut pergi ke rumah Oppung. Bahkan, sejak perjalanan tadi, Lasma hanya sibuk memainkan ponselnya dan memasang earphone di telinganya mendengar lagu-lagu barat. Abang Jo yang masih memindahkan barang-barang bawaan meminta Lasma untuk membantu Oppung Lamtiur, neneknya, menyiapkan hidangan untuk mereka makan sehabis perjalanan panjang.
Setelah makan siang, Lasma duduk bersama Oppung Binsar, Duma, dan Bang Jo di teras sembari mendengar Oppung bercerita. Oppung punya banyak cerita rakyat Batak yang disebut turiturian. Bukan hanya itu, bahkan Oppung punya banyak umpasa yang berarti pepatah atau ungkapan tradisional Batak.
"Jolo nidilat bibir, asa nidok hata. Asa unang haccit rohani donganmu," ucap Oppung yang berarti, jika ingin berbicara hendaklah dipikirkan dahulu, agar orang lain tidak sakit hati dengan ucapanmu.
Duma dan Bang Jo nampak tertarik dengan cerita dan umpasa Oppung. Tapi, tidak bagi  Lasma. Ia merasa bahwa sastra ini terlalu kuno dan tidak relevan dengan era modern seperti sekarang. Lasma menganggap bahwa bahasa yang kakeknya ucapkan sulit dipahami serta tidak praktis seperti ponsel yang ia genggam sekarang.
Malam hari pun tiba, saat Lasma selesai mencuci piring, ia duduk di ruang keluarga, tempat mereka berkumpul untuk berbincang-bincang sambil menonton televisi. Oppung Binsar bercerita lagi kepada mereka. Lasma pun kembali membuka ponselnya.
"Las, apa kau tahu arti dari umpasa?" tanya Oppung. Lasma menggeleng pelan, merasa canggung. Namun, Oppung memandangnya dengan penuh harap, seakan ingin menyampaikan sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Lasma pun bertanya-tanya tentang makna dari umpasa yang Oppung tanyakan barusan.
Oppung Binsar membuka buku-buku tua berisi turiturian dan umpasa dengan tangan yang sedikit gemetar, memperlihatkan halaman-halaman yang penuh tulisan tangan rapi berbahasa Batak. Sesekali, Oppung menunjuk pada kalimat-kalimat yang diwarnai ingatan masa lalunya. "Jadi, Lasma, dulu, umpasa seperti ini sering kami ucapkan dalam acara adat atau sekadar nasihat antar keluarga. Artinya pun sangat dalam," ujar Oppung, suaranya lembut penuh kebanggaan.
Lasma hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Ia kembali berpikir, mengapa umpasa seperti itu harus dipertahankan? Toh, tak banyak teman-temannya yang peduli dengan bahasa Batak, apalagi sastra Batak yang menurutnya sudah kuno. Lasma jadi cemberut karena tak ingin memperdebatkan ini dengan Oppung.
Dengan sabar, Oppung menyampaikan satu umpasa kepada Lasma. "Ijuk di parapara hotang di parlabian, na bisuk nampuna hata na oto tu panggadisan," kata Oppung."Artinya, Lasma, orang bijak teguh dengan perkataanya, orang bodoh lemah dengan pengetahuannya."