Telah dua ratus enam puluh dua kali Ojan mengirimkan surat-surat kepada kembang kesayangan Tuan Guru itu. Di madrasah itu, berkirim kabar kepada pacar adalah seperti serdadu berkirim kabar kepada keluarga pada masa penjajahan. Kau harus pandai-pandai menyelundup. Lebih-lebih Ojan pula salah satu ustadz, tentu tingkah lakunya harus serba baik. Ojan adalah salah satu yang mengawasi santri agar tak melakukan hal semacam itu, dan jika kedapatan, maka orang tua santri yang bersangkutan akan diundang ke pesantren untuk dikabari secara langsung serta si lelaki akan digunduli di lapangan. Ojan tak ingin sampai kedapatan mengirimkan surat itu, ia sudah bisa menebak -jika hukuman itu juga berlaku bagi ustadz- pastilah tuan guru sendiri yang akan langsung menggundulinya di lapangan.
Pada suratnya kali ini, Ojan mengirimkannya kepada tuan guru untuk menyatakan lamarannya. Di atas meja ruang kepala pesantren itu, setelah menyelinap masuk pada jam istirahat, ia meletakkan surat itu.
"Tuan Guru Raden, mencintai putrimu bagiku adalah seperti seorang buta yang mencitai kertas: saya hendak menggunting kertas itu menjadi bunga, tetapi sayang sekali saya tidak tahu bagaimana memulai, melanjutkan, dan mengusaikannya. Bahwa saya juga tahu diri, Raden. Saya adalah salah satu ustadz yang sudi Raden pungut dari tempat kumuh dengan tangan terbuka bagi siapa saja. Sekarang dalam nama Tuhan dan nabi-Nya, serta cinta, dengan segala ketidaksetaraanku atas seluruh kemuliaan Raden, saya hendak menyampaikan khitbahku kepada Lale Aziza, putri semata wayangmu. Semoga Tuan Guru Raden merestui."
Surat itu telah dibaca oleh Tuan Guru. Hal itu membuat Tuan Guru mengundang Ojan ke rumahnya untuk memberikan jawaban. Tuan guru akan mempertimbangkan lamaran itu di antara tujuh lamaran lainnya yang belum mendapat kepastian. Itu adalah kali ketiga ia berlawat ke rumah tuan guru, pertama ketika ia disahkan mengajar di pesantren, kedua ketika ia meminta berkas mengajar (sebagai alasan menikmati secangkir kopi buatan Aziza). "Kami akan memusyawarahkannya dengan keluarga dan Aziza. Semoga kau dapat bersabar," Tuan Guru menjawab demikian.
Ojan semakin tak percaya diri jika mengingat-ingat latar belakang keluarganya. Barangkali di madrasah itu, ia adalah satu-satunya ustadz yang keluarganya tak harmonis. Sepulangnya dari luar negeri menyelesaikan strata duanya pada fakultas usuluddin, Ojan menemukan ayahnya sedang minum. Rupanya ibunya telah diceraikan semasa ia di luar negeri. Dua bulan kemudian, ayahnya meninggal keracunan alkohol. Sebenarnya Ojan tak terlalu kaget menyaksikan ayahnya dalam keadaan seperti itu sebab seperti yang juga orang-orang kampung kenal, ayahnya itu adalah ketua klub sabung ayam. Maka untuk menghindari kelakuan ayahnya itu, ibunya memerintah Ojan untuk mengejar pasca sarjana agar dapat mengubah keadaan keluarga. Ibunya terkenal sabar menghadapi suami semacam itu. Ia awalnya menikah dengan lelaki itu untuk membayar hutang sabung ayam ayahnya. Keadaan demikian itulah yang membuat Tuan Guru tertarik membawanya ke madrasah. Di mata Tuan Guru, Ojan gigih menjalankan agamanya. Hal itu kemudian membuat Ojan sangat menghormati Tuan Guru, dan kalau bukan karena cintanya yang benar-benar itu, pastilah ia tak akan sampai meminta jantung.
Hari semakin terik. Hawa panas di aula mulai terasa meskipun angin tetap saja sepoi seperti kebanyakan bangunan agama lainnya. Bangunan-bangunan agama memang seperti itu, sematahari apapun panasnya ia akan tetap sejuk, kata Tuan Guru, itu disebabkan oleh Tuhan sendiri yang mengatakan bahwa tempat-tempat semacam itu adalah bagian dari taman-taman surga. Ojan membayangkan kalau-kalau Tuan Guru mengetahui kehamilan Aziza. Lamaran itu akan semakin kecil kemungkinannya untuk diterima sebab agama tidak membenarkan anak luar nikah bernasab dengan lelaki yang menghamili ibunya tanpa akad. Tuan guru pastilah menolak lamaran itu.
***
Zuhur sudah berkumandang di masjid pesantren. Ojan sudah benar-benar yakin bahwa Aziza tak mungkin bercanda, walaupun tadi ia sempat berharap bahwa ini hanyalah permainan Aziza, nanti Aziza akan memberikan kejutan bahwa ini hanyalah sebagai peringatan anniversary mereka sambil membawa kue tart. Akan tetapi segera ia patahkan, sebab mereka tak pernah bepacaran, juga tak mungkin melakukan perayaan semacam itu di pesantren. Ojan tak khusyuk dalam salat. Ia gemetar di belakang Tuan Guru yang mengimami. Lantunan Al-Lahab dalam shalat itu diartikannya sebagai ayat kutukan yang menggelegar mengecam dirinya.
Ketidaktenangannya terus berlanjut setiap hari. Di kelas, ia hanya masuk mengabsen santri, kemudian memberi salah satunya buku untuk dicatat di papan tulis. Ah, bayangkan jika seluruh ustadz mengalami masalah seperti yang dihadapi Ojan, tentu pabrik kapur tulis dan spidol akan semakin maju. Juga, jika ada kesalahan kecil saja dari santri, Ojan akan marah-marah. Santri yang pada awalnya menyukai Ojan sekarang harus menemukan Ojan dengan tingkah yang berbeda sama sekali.
Hingga pada suatu malam, Ojan dipanggil oleh Tuan Guru ke rumahnya pada dua minggu setelah kejadian yang meresahkan Ojan dan menyedihkan Aziza itu. Tidak seperti biasanya, kali ini Tuan Guru duduk dengan tatapan tajam. Tak ada senyum malam itu. Tuan guru menggebrak meja, "Demi Allah, antum laknat terbesar dalam keluarga kami!" Tuan Guru membuka tegang yang gamang dengan sumpah itu. "Bagaimana sekarang caranya ana menyelesaikan masalah ini. Bunga milikku satu-satunya antum matikan." Di luar, santri yang baru pulang mengaji terkejut mendengar gelegar suara Tuan Guru yang tak pernah mereka dengar sebelumnya.
"Antum ndak ingat gimana ana mengandalkan antum. Apakah antum ndak memikirkan betapa sulitnya jadi ana?!" Karena Tuan Guru berhenti bicara, Ojan benar-benar berpikir, apa susahnya jadi tuan guru? Bukankah Tuhan sendiri menjamin hidupnya behagia dunia-akhirat? Rumahnya semewah ini, satu mobil serta tiga motor sudah terparkir di bagasi, keluar halaman rumah saja sudah disambut para santri, dan lebih lanjut, orang-orang akan patuh terhadap segala titiahnya, dan nabi sendiri berucap bahwa tuan guru adalah pewarisnya. Hingga tuan guru melanjutkan bicara, "Asal antum tahu saja Ojan, lamaran antum telah ana rencanakan untuk ana terima. Tapi sekarang hukum agama mengharamkan kalian bersatu." Mendengar itu, Ojan tertunduk menangis. Bukan mengis karena tekanan keadaan, melainkan karena ia telah mematahkan kepercayaan Tuan Guru atas Aziza. Tuan Guru benar-benar memandangnya sebagai orang suci. Ustadz-ustadz, dan bahkan sesama tuan guru yang raden pun tak masuk rencana berbahagia itu.