Babi!
Itu adalah babi ke dua yang keluar dari mulut musisi itu pagi ini. Ketika penulis menunggu hujan reda, musisi itu mengatakan akan membuat sebuah clip di Sembalun dengan Nikita Willy. Dan kau tahulah, yang paling babi adalah bahwa Nikita terlalu besar untuk ditampilkan pada clip itu. Musisi itu menertawai keinginannya yang menginginkan akses penuh kepada Nikita yang satu rombongan dengan band-nya pada sebuah program, namun tidak pada proyek klip itu. Pada sebuah kesempatan lalu, musisi itu pernah berceracau, "Nikita akan duduk di depan tendanya di pagi hari menyeruput kopi, lalu tersenyum menghadap kamera sambil mengatakan, Sembalun menyapa dunia!"Â
Babi!
Itu adalah babi ke tiga yang keluar dari mulut musisi itu pagi ini. Ketika penulis menunggu hujan reda, musisi itu menanyakan sudah berapa orang yang mencaci penulis itu atas sebuah acara yang telah mereka selenggarakan. Tapi sepertinya, sebelum musisi itu meletakkan kompor pada beranda media sosialnya juga, sepertinya api itu tidak akan terbakar dengan baik. Dan yang paling babi adalah bahwa apa saja yang hendak mereka lakukan sudah sama-sama mereka ketahui akan  menjadi suatu yang sia-sia saja.
Babi!
Itu adalah babi ke empat yang keluar dari mulut musisi itu pagi ini. Ketika penulis menunggu hujan reda, musisi itu tiba-tiba mengingat beberapa lagu yang ditulisnya dengan beberapa teman lama yang sudah tidak akrab lagi. Dan yang paling babi adalah bahwa kejadian-kejadian di luar membuat siapa saja lebih sensitif seperti pembalut wanita yang hanya memerlukan setetes cairan selangkangan untuk mewarnainya.
Babi!
Pada babi ke lima yang keluar dari mulut musisi ini, ceritanya akan menghabiskan tiga paragraf dan penulis cerita ini harus menyebut nama musisi itu dari sini. Nama musisi itu adalah Yus. Sebelumnya telah diceritakan alasan-alasan empat babi keluar dari mulutnya, yang pada intinya adalah disebabkan oleh kerjanya sebagai seniman. Dan hari ini, ketika menunggu mahasiswa bimbingannya datang ke kampus, Yus mengingat sesuatu pernah terjadi:Â
Dulu. Dulu sekali, Yus sempat berfokus menjadi perupa saja. "Pada kanvas, aku menemukan diriku sendiri benar-benar kebingungan dan harus mengekspresikan diri di sana sebagai warna", dia pernah berkata. Belajarlah Yus memahami warna-warna yang tampil di bumi. Merah. Kuning. Kuning kemerah-merahan. Merah kekuning-kuningan. Segala warna dia pelajari, hingga pada akhirnya dia mulai mempertanyakan, bagaimanakah warna angin; atau paling tidak benarkah angin tidak berwarna. Maka pada hari itu seusai mengajar di kampus, Yus membelokkan motornya ke arah kiri di perempatan Taman Rinjani Selong. menyusuri jalan satu arah kota. Di Taman Tugu, dilihatnya anak-anak SMP sedang duduk-duduk juga beberapa remaja berpasangan. Setelah sampai wilayah Kelayu, Yus memasuki sebuah jalan becek bekas hujan semalam. Di sana ada sebuah sungai yang tenang, beriak, dan jernih, namanya sungai Menteja. Medan berat itu, tidaklah terlalu berat jika dibandingkan dengan apa yang sedang dipikirkannya tentang warna.
Yus bersila di sungai itu hanya mengenakan celana pendek lalu memungut batu-batu sungai, pertama meletakkan yang paling lebar di atas batu besar yang menghalangi air sungai itu. Lalu disusul dengan batu yang lebih kecil. Batu itu sudah tersusun setinggi dadanya ketika dia hendak meletakkan satu lagi batu paling kecil. Yus menghirup udara Menteja dalam-dalam, lalu mengehembuskannya pelan dengan pertanyaan, bagaimana melukis angin dengan benar sambil meletakkan batu terakhirnya. Tapi Yus kehilangan konsentrasi saat itu juga, dan meruntuhkan batu-batu yang disusunnya selama hampir tiga jam itu.Â
Musisi itu mendongak langit yang terus menjatuhkan hujan. Mahasiswanya belum juga datang. Ketika penulis menunggu hujan reda, musisi itu mengirimi pesan bahwa yang paling babi adalah apakah benar angin tidak berwarna.