[caption id="attachment_315598" align="aligncenter" width="300" caption="Froechenary.blogspot.com"][/caption] Mungkin saja karena terlalu sering nonton The Bourne Identity yang ditayangkan berulang-kali di berbagai televisi menyebabkan imageku berubah.
Dulu waktu masih SMP hampir semua serial James Bond 007, novel karangan Ian Fleming telah kubaca bahkan aku punya 5 Novel terjemahannya . Ketika “Dr.No” difilemkan pertama kali tahun 1962 dengan aktor Sean Connery aku berharap dapat menontonnya tapi baru terkabul pada episode “Live and Let Die“ di tahun 1975 dengan bintang Roger Moore. Sepertinya tidak ada lagi filem Spy dan laga sehebat James Bond. Bahkan ketika Steven Segal meraja lela di layar kaca, kehebatan bela dirinya tak sanggup menggoyahkan kekagumanku pada tokoh agen rahasia M16 dan menjadikannya idola.
Pengidolaanku pada James Bond ( JB ) telah berubah sesuai jaman. Jason Bourne singkatan namanya kebetulan juga sama “JB” datang mengusikku di layar kaca dengan filem yang berjudul “The Bourne Identity” serial pertama dari trilogy The Bourne yang kemudian dilanjutkan dengan The Bourne Supremasi dan The Bourne Ultimatum. Jason Bourne yang diperankan oleh Matt Demon yang sebenarnya adalah seorang aktor drama, telah tampil seutuhnya sebagai Agen Rahasia yang super. Dengan kemampuan teknik berkelahi dan instink yang tinggi, kemampuan berbahasa asing menjadikan filem ini maknyuus untuk ditonton.
Sebenarnya jalan cerita The Bourne Identity amatlah sederhana. Sesuai judulnya mengkisahkan tentang Jason Bourne yang kehilangan ingatannya . Filem diawali dengan ditemukannya sesosok manusia yang terombang ambing dilaut lepas oleh kapal penangkap ikan. Ditubuhnya ditemukan beberapa peluru dan satu capsul yang berisi nomor deposit box bank. Data pada capsul inilah yang menghantar Matt Demon memulai petualang mencari tahu siapa dirinya. Sayang permainan apik yang ditampilkan Jason Bourne tidak dapat diimbangi oleh Marie yang diperankan oleh Franka Potente, artis cantik ini tampil dengan acting biasa saja.
Filem yang diangkat dari novel karya Robert Ludlum memang menyuguhkan teknik pengambilan yang pas sehingga tidak ada rasa capek bahkan tidak ada rasa bosan meskipun menonton berulang ulang. Ketegangan yang ditimbulkan dari awal tidak monoton. Perasaan kita terbawa hanyut dalam cerita yang menarik penuh intrik.
(wates-kulonprogo)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H