Mohon tunggu...
Vera Astanti
Vera Astanti Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

hidup berawal dari mimpi... go fight..

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tumbuhnya Teater di Bojonegoro

17 Mei 2012   04:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:11 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah malam yang tak mungkin saya lupa. Kamis 22 Maret 2012, bersama seorang teman, menonton teater di STAI. Teater adalah hal yang langka bagi kota kering budaya ini. Berharap mendapat sebuah pertunjukkan yang menghibur. Saya justru mendapatkan lebih dari sekedar hiburan. Acara dimualai sekitar jam delapan malam, molor dua jam dari rencana dikarenakan hujan deras. Dimulai dengan pertunjukkan dari MTS Bojonegoro. Cendol penunggu hutan judulnya. Cukup menarik perhatian dengan dialog-dialog jawa yang kental serta kepolosan para pemainnya. Pertunjukkan ini menyisipkan nasihat pentingnya menjaga hutan demi kehidupan kita. Yah, mengingat hutan jati Bojonegoro banyak yang gundul, teater ini sungguh cocok untuk ditampilkan. Pertunjukkan kedua oleh Lumbung Lamongan. Hebat sekali bisa mengajak teater luar Bojonegoro untuk hadir, begitu pikirku. Pertunjukkan diawali dengan semua tokoh berdiri di panggung dengan mimik yang sedih. Kisah tentang takdir yang tak bisa dihindari oleh Oedipus sungguh miris. Begitu banyak bencana-bencana yang dia timbulkan karena keberadannya. Dengan ending Oedipus mati ditangan istri sekaligus ibu kandungnya,Jokasta. Jokasta sendiri menjadi gila. Dari semuanya yang paling memikat hati saya adalah dialog malam setelah pertunjukkan selesai. Di sini saya mengenal para penggiat seni di mana saya tinggal. Sungguh merupakan kegembiaraan tersendiri.

13372279091670176961
13372279091670176961
Ketika dialog mencapai sebuah ajang adu pendapat tentang bagaimana para penggerak atau penggiat seni menyuarakan haknya di hadapan birokrasi. Sedang penggiat seni, dalam hal ini ketua Teater Lumbung Lamongan sudah jenuh dengan birokrasi. Baginya, setiap teaternya mengajukan proposal. Di situ pulalah dia menciptakan celah untuk korupsi. Dana yang diterima tidaklah pernah utuh. Di tengahi oleh Pakdhe Uban, dengan anologinya yang cerdas. Mengatakan bahwa anaknya rela memberikan pulsa berapapun untuk pacarnya. Karena apa? Karena cinta. Bisa disimpulkan bahwa apa yang diusahakan oleh ketua Teater Lumbung tidak memerlukan birokrasi karena ia sudah mampu melakukannya sendiri. Karena ia mencintai teater.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun