Mohon tunggu...
Exsan Ali Setyonugroho
Exsan Ali Setyonugroho Mohon Tunggu... -

SEJARAH ADALAH GURU KEHIDUPAN

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kembali menuju Sejarah Sejati

27 Januari 2014   08:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:26 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sedikit jika kita lebih kritis dalam melihat ilmu sejarah, kita akan lebih besar lagi merasa tercengang bila mengetahuinya. Betapa tidak, sejatinya sejarah banyak ditulis oleh orang demi orang dari sebelum masehi sampai abad modern kali ini, tujuannya adalah agar orang lebih bijak dalam melangkah kedepan. Seperti ungkapan filsuf romawi, Cicero pernah mengatakan bahwa Historia Vitae Magistra (Sejarah adalah guru kehidupan), Bila kita mencoba berfikir lebih jernih, maka sungguh penting sejarah bagi kehidupan kita ini-tanpa merendahkan ilmu yang lain yang juga tak kalah penting- khususnya dalam melangkahkan hidup kedepan yang tentunya itu takan bisa berhasil dengan baik tanpa adanya bekal pengalaman-pengalaman dari yang terdahulu. Akan tetapi dalam perjalanannya menuju kesempurnaan sejarah (rapprochement), banyak orang yang melukai sejarah itu sendiri. Banyak orang yang telah mempelajari sejarah tetapi dalam tingkah lakunya tak mencerminkan jiwa yang bijak dalam melangkah. Bisa kita lihat masih banyaknya korupsi, suap, budaya-budaya buruk bangsa ini yang banyak melukai hati dan perasaan orang lain masih tumbuh subur di bumi pertiwi. Akankah sejarah dipelajari oleh banyak manusia hanya untuk dihafalkan guna mendapatkan nilai maupun tepuk tangan orang lain dan kemudian hilang begitu saja seiring berkembangnya waktu?.

Padahal dalam sejarah-kembali menurut Cicero-, bahwa hukum pertama dalam sejarah adalah takut mengatakan kebohongan, hukum berikutnya tidak takut mengatakan kebenaran. Nah, jika kita memang benar-benarmenghayati sejarah, maka berbagai ilmu-ilmu tentang kebajikan dan budi pekerti luhur akan tercerna pada diri kita sebagaimana tingkat tertinggi pemahaman kita terhadap sejarah yakni adanya kesadaran sejarah. Orang yang benar-benar sadar akan sejarah akan melangkah dengan penuh pertimbangan sebelumnya. Tindakan ini akan menimbulkan hal yang bagaiamana, orang tersebut sudah bisa memperkirakan hal yang akan terjadi di depan.

Maka jika memang bangsa Indonesia sudah mengaku belajar dari sejarah, mengapa persoalan yang sama seperti pemerintahan yang busuk dengan penuh compang-campingnnya supremasi hukum masih terjadi, korupsi dengan berbagai versi dan modus masih marak ditemui. Kemudian kekerasan yang mengatasnamakan agama, suku, dan ideologi masih sering berlalu lalang ditelevisi dan media lainnya. Lebih dari itu, apakah sejarah bangsa Indonesia pada dasarnya hanyalah sejarah kelahiran suatu kekuasaan, naik kepuncak kejayaan dan kemudian untuk jatuh secara tragis? Mungkinkah tragedi berdarah 1965-1966 akan terulangi lagi? Mungkinkah Indonesia akan kembali terjajah? Jawabannya pada diri kita generasi sekarang yang akan memegang tampuk kepemimpinan bangsa ini. Apakah negara ini akan maju dan makmur seperti impian kita selama ini, ataukah negara ini akan tetap rakyatnya menjadi budak di tanah kelahiran sendiri, itu tergantung generasi muda sekarang.

Dengan melihat berbagai peristiwa-peristiwa sejarah yang masih banyak dengan penyumbatan untuk dituturkan secara terbuka. Kita nampaknya harus melakukan sebuah revolusi dalam sejarah, revolusi penulisan sejarah yang benar-benar tidak ditutupi. Kita bisa tengok peran pahlawan nasional Tan Malaka dalam proses kemerdekaan Republik Indonesia sangat luar biasa, sejajar dengan Syahrir, Hatta bahkan Soekarno. Tetapi nama beliau nyaris tak disebut dalam pelajaran-pelajaransekolah secara formal, sekali disebut maka Tan Malaka dicap sebagai dalang pemberontakan. Ada lagi peristiwa pembantaian jendral di tahun 1965 yang menurut versi sepihak dari pemerintah saat itu (Orde Baru) yakni PKI(Partai Komunis Indonesia)sebagai tersangka utama tanpa adanya proses pengadilan yang adil, dan kesemua dari simpatisan PKI di bunuh lebih dari limaratus ribu orang dan tak sedikit di asingan bahkan sampai mati. Bukan hanya itu akibat pembelotan sejarah tersebut banyak orang yang orangtua atau keturunannya PKI ataupun hanya simpatisan, tidak serta merta diterima oleh masyarakat secara umum. Banyak dari orang-orang tersebut apabila melamar PNS(Pegawai Negeri Sipil)sangat sulit untuk diterima dan bahkan tidak bisa. Ada juga bila terjadi pernikahan salah satunya dari keturunan PKI maka secara otomatis hal itu akan di batalkan lantaran oleh omongan dan ocehan masyarakat sekitar. Inilah sedikit akibat buruk yang jauh dari kata keadilan, akibat dari pembelotan dalam penulisan sejarah yang kurang fair dari pemerintah. Ya itulah sejarah, ada yang menyebutkan “milik penguasa”. Tetapi itu sejatinya tinggal kita sebagai bangsa Indonesia menerimanya atau tidak, dengan berbagai akibat buruk yang dihadirkan

Jadi bila kita simpulkan, untuk melihat sebab orang berbuat tidak sesuai dengan apa yang dipelajarinya di sejarah, sehingga tidak bisa dipakai untuk melangkah dikemudian harinya disebabkan oleh dua kemungkinan. Yang pertama, memang dari orang tersebut kurang adanya rasa kesadaran sejarah meskipun dalam pangkat maupun jabatannya memungkinkan ia selama belajar mendalami sejarah itu sendiri. Jadi ia belajar sejarah hanya dipakai untuk berdiskusi semata, untuk menjual omongan belaka dan bisa untuk mengejar nilai belaka, sebagai formalitas dan memperolah secarik kertas ijazah. Yang kedua, sebagian sejarah yang diciptakan pemerintah terdahulu banyak menyesatkan, sehingga pandangan dan opini masyarakat sama-sama digiring untuk memusuhi golongan tertentu. Akibatnya masih adanya prasangka satu sama lainnya. Nah tugas dari kita sebagai generasi penerus yakni untuk kembali mengembalikan hal yang semestinya, dengan kata lain sejarah yang buruk dari bangsa ini harus di katakan yang sejujur-jujurnya sesuai dengan bukti-bukti terkait tanpa merendahkan versi yang sudah dibuat.

Bangsa yang tidak mengenal sejarahnya adalah bangsa yang kehilangan arah, mungkin ungkapan itu sangat relevan jika kita pandang Indonesia ini mau kemana kedepannya. Kita seringkali merasa galau melihat bangsa ini. Seperti ungkapan budayawan Cak Nun (Emha Ainun Najib) “Apakah kita ini bangsa besar atau bangsa kerdil?, jika kita bangsa besar maka cara untuk bangkit dari keterpurukan selayaknya bangsa yang besar”. Bisa kita bayangkan betapa besarnya bangsa kita terdahulu. Nusantara dengan kerajaan Majapahit dan Sriwijaya-Nya begitu kokoh dan kuat sebagai sebuah kerajaan ataupun negara terdahulu, bahkan hampir seluruh wilayah Asia Tenggara berhasil ditakhlukan. Bangsa kita terdahulu adalah penakhluk lautan itu membuktikan bahwa kita bangsa maritim yang kokoh, dan bangsa kita adalah salah satu lumbung padi dunia dan itu juga membuktikan bangsa kita adalah agraris yang makmur. Akan tetapi jika kita bandingkan dengan sekarang dengan kekayaan yang serupa bangsa kita jatuh terpuruk. Sungguh malu jika kita menyadari bahwa Indonesia mengimpor padi yang sebagian besar panduduknya adalah petani.

Inilah salah satu sumber lecutan semangat bagi kita para generasi penerus tongkat estafet republik ini, yang akan hidup di masa 100 tahun Indonesia merdeka. Mari singsingkan legan untuk kita terus menerus berjuang demi terciptanya negara yang makmur adil dan beradab sesuai dengan cita-cita Proklamasi, Pancasila dan UUD 1945 yang berjalan gagah dengan semboyan Bhineka Tungal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu jua). Juga berjalan tanpa meninggalkan sejarah masa lalu bangsa ini yang penuh dengan perjuangan saat dalam proses merebut kemerdekaan, sehingga ini menjadi acuhan untuk kita untuk selalu bersemangat dalam perjuangan. Agar meneladani yang baik dari pahlawan kita dan meninggalkan keburukan yang membekas di relung hati kita saat mempelajari sejarah. Merdeka!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun