Sebelum saya hidup di tanah perantauan, saya malah belum tau Lasem yang sesungguhnya. Padahal saya lahir dan besar di Lasem.  Bagaimana budaya, penduduk, harmonisasi, masakan, dan berbagai macam pusaka yang ada di tanah kelahiranku yang dengan naturalnya bisa memancing siapa saja yang datang kesini belum bisa menyadarkanku akan artinya Lasem . Setelah itu beranjak dewasa saya tinggal di semarang, disana unsur-unsur sejarahnya bisa dibilang hampir sama dengan Lasem. Tapi yang membedakan adalah pemerintah dan masyarakat di Semarang bisa dibilang memperhatikan unsur-unsur budaya dan kesejarahan. jadi dengan kata lain, dibandingkan dengan kota-kota  yang pernah ku kunjungi selama ini. Ternyata Lasem tak kalah jika dibandingkan dengan Semarang bahkan Surakarta sekalipun dalam bidang warisan pusakanya. yang membedakan hanya di Semarang sudah ada pengelola yang jelas akan benda atau situs warisan budaya dan sejarah. Maka dari itu aku mulai bangga dengan Lasem, yang mungkin sekian lama terpuruk dalam arus perkembangan jaman. sehingga popularitas lasem sebagai kota budaya masih kalah. Dan bermimpi lasem bisa menjadi kota pusaka.
Banyak sekali situs-situs bersejarah tertanam di kota yang dulunya menjadi kadipaten merdeka pada jaman Demak ini. Mulai dari peniggalan Majapahit ada semacam lingga dan yoni serta bahkan reruntuhan candi. Jaman Islam yang  mulai dari makam adipati-adipati lasem sampai bangunan masjid tertua Lasem yang ikut menjadi saksi bisu perang kuning atau perang lasem saat warga lasem melawan penjajah belanda, peninggalan-peninggalan Thionghoa berupa perumahan-perumahan klasik khas negeri tirai bambu itu dan berbagi macam klenteng sampai rumah tempat penyelundupan candu, yang sampai sekarang masih terawat dengan baik.
Lasem tak juga sebagi kota sejarah. Disini juga bisa terlihat banyak sekali warisan-warisan budaya yang patut dijaga kelestariannya. Adapun batik lasem, yang terkenal dengan percampuran warnanya yang lugas dan berani karna beralkulturasi dengan budaya Belanda dan Thionghoa. Disini juga terdapat berbagi macam wisata kuliner yang patut dicoba. Ada kopi lasem atau biasa disebut dengan kopi lelet yang karena setelah meminumnya biasanya para orang-orang lasem, ampasnya dibuat untuk membalut (lelet) berbatang-batang rokok. Â Setelah itu ada juga lontong tuyuhan yakni kuliner lontong yang dicampur dengan kuah opor ayam dengan santan yang teramat kental. Ada juga dumbek, makanan berbentuk seperti terompet yang dibalut dengan daun lontar, pasti ketagihan saat mencobanya. Dan masih banyak lagi.
Sulit rasanya jika tetap mendengung-dengungkan lasem sebagai heritage city atau kota pusaka. Jika aparat pemerintahannya tetap saja berpangku tangan dan hanya sebagai penonton saat para punggawa yang sadar akan budaya, sejarah dan sejenisnya berjuang untuk pusakan lasem. Mari ciptakan suasana yang menuju akan kesadaran akan warisan budaya dan sejarah. Bukan saja terus menumpuk kekayaan materi yang matipun  tak akan dibawa. Saatnya berjuang yang nantinya bisa dinikmati oleh anak cucu kita. Bukan saja Lasem, tapi seluruh kota di Indonesia para birokrat dan masyarakatnya harus senantiasa menyadari akan pentingnya budaya dan sejarah, karna mengingat semakin liarnya arus globalisasi di era ini. Salah satunya dengan memahami budaya sendiri, sejarah sendiri. Kita memang tidak bisa mencegat budaya luar masuk di sini, tetapi apakah kita mampu mengatasi budaya yang semakin larut dalam hedonitas. Kita bisa saja toleran dengan budaya asing, tapi tak boleh sejengkalpun meninggalkan warisan budaya sendiri.
Salam jasmerah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H