M. Nasroen(1907-1968) Guru BesarFilsafatdiUniversitas Indonesia dalam bukunya Falsafah Indonesia, mengatakan bahwa gotong royong adalah dasar Falsafah Indonesia. Dengan kata lain bahwa gotong royonglah yang menjadi ciri utama manusia Indonesia pada umumnya. Dari ribuan tahun silam Indonesia telah menciptkan konsep ini. Kita bisa melihat di ritual-ritual keagamaan disana yang masih Animisme dan Dinamisme. Dalam setiap upacara keagamaan para masyarakat berbaur menjadi satu untuk bekerjasama membangun suatu tempat sumber peribadatan, ada juga saat upacara kelahiran dan kematian yang semua warga berkumpul untuk mengerjakan apa yang perlu mereka kerjakan tanpa imbalan apapun. Dalam hal indonesia sebagai negara maritim, kita bisa lihat para warga bekerja sama dalam membangun kapal-kapal, dan di pikul besama pula dalam melayarkannya kelautan lepas.
Masuknya Agama Hindu Budha dan Islam, tak serta merta membuat tradisi ini lenyap begitu saja. Banyak acara-acara keagamaan yang malah disesuaikan dengan sikap kekeluargaan ini. Misalnya dalam acara tahlilan dan yasinan-yang merupakan akulturasi-semua warga berkumpul jadi satu untuk melaksakan ritual doa bersama yang secara langsung dapat menimbulkan keterikatan batin diantara mereka, hingga memunculkan sikap “ringan sama jinjing berat sama dipikul”. Masih banyak contoh-contoh yang harmonis jika kita menghayati betul. Ada acara gugur gunung sampai seperti acara sambatan dalam masyarakat jawa yang biasanya dalam membangun rumah diundanglah seluruh warga masyarakat dan mereka saling bahu membahu membangun rumah tanpa adanya balas budi berupa uang, Contoh real yakni saat dibangunnya Masjid Agung Demak yang sejarahnya bisa kita baca sendiri. Tradisi-tradisi semacam ini masih terjaga rapi biasanya di daerah pedesaan.
Maka konsep ini pula yang dipilih oleh para penggerak bangsa untuk mempersatukan Indonesia merdeka. Salah satunya Bung Karno presiden pertama Republik Indonesia ini dalam gagasannya tentang Pancasila terisnspirasi dari konsep gotong-royong. Dalam bagian lain, menurut Soekarno dapat saja Pancasila itu diperas hingga menjadi satu dan kemudian dapat dikenal dengan sebutan Gotong Royong. Konsep gotong-royong ini merupakan konsep dinamis, bahkan lebih dinamis dari perkataan kekeluargaan. Sebab konsep gotong-royong ini menggambarkan suatu usaha, satu amal, satu pekerjaan secara bersama-sama. Gotong-royong adalah pembanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-biantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua kebahagiaan semua. (Jebarus Felix, tanpa tahun)
Setelah itu banyak pemimpin-pemimpin kita yang menerapkan konsep kegotong-royongan dalam sistem birokrasi, mulai dari Presiden Suharto sampai ada kabinet yang dinamkan Gotong Royong yakni pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Ini membuktikan bahwa teramat pentingnya konsep kegotong-royongan ini bagi bangsa Indonesia.
Mngingat arus globalisasi yang kian lama kian merasuk dalam sendi-sendi kebudayaan, maka di butuhkanlah sikap idealisme dalam bersikap. Idealisme dalam hal ini yakni bersikap tetap berfikir susuai jati diri bangsa yakni kegotong-royongan, kekeluargaan. Kita tak bisa menahan arus globalisasi masuk, tapi kita tetap bisa menyesuaikan modernitas tersebut dengan budaya sendiri. Yang artinya kita tak boleh larut dalam euforia individualitas yang semakin marak dewasa ini. Itulah yang para tokoh bangsa ini lakukan dijaman dahulu, yakni dengan senantiasa berakulturasi bukan berlarut.
Maka dari itu kita disini bukan hanya membicarakan, mendiskusikan apa itu gotong royong, kekeluargaan yang menjadi sumber Falsafah Indonesia. Tetapi kita dituntut untuk lebih melestarikan atau melaksanakan konsep ini dalam tataran hidup bermasyarakat sampai berbangsa dan bernegara. salam pertiwi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H