Bukan karena salahmu bukan karena salahku tetapi kita tiada berdaya. Sepenggal lirik lagu ini kalau kamu benar-benar orang Indonesia, mengaku cinta tanah air, tentu saja tidak asing. Meskipun hanya sepenggal, tapi makna yang terkandung dalam lirik tersebut bisa dijelaskan hingga ratusan lembar, tidak percaya? Baiklah, sekarang kita akan coba pecah satu per satu kata tersebut dan mencoba menjelaskan topik yang sedang hangat dan mendapat cibiran dari orang yang terkenal, bukan orang sembarangan, ini pak presiden, tapi belum sempat menjawab siapa namanya. Jadi masih bersifat umum, kan bisa saja presiden saya beri nama AA, atau BB. Masih belum final, tapi karena ada kata presiden member kesan bahwa orang ini tidak sembarangan, selama orang tersebut masih dalam koridor kepresidenan.
Media adalah ini dan itu, kamu dan mereka, ada saling menunjukkan keinginan untuk berdiri sama tinggi duduk sama rendah. Tapi bukan di sayangkan, memang sudah masuk era globalisasi, semua berada di tangan pasar, bukan lagi pada segi manfaat yang baik, yang seharusnya. Ketika media sudah mendapatkan penilaian, eh ini kebetulan sedang ada hajatan besar masih mau terlaksana Hari Pers Nasional, jadi tulisan ini bisa mewakili atau tidak terwakilkan dengan hajatan itu juga tidak apa, paling tidak masih di sambung-sambungkan dan itu bisa.
Media hanya mengejar rating, lantas salah siapa. Siapa yang patut membawa beban kesalahan yang teramat berat hanya berkonsentrasi pada rating. Bukan awak media, juga bukan para penonton setia, tidak ada yang di salahkan, karena memang kita tidak berdaya baik awak media maupun penonton. Kalau hanya berdasar pada pemanfaatan yang hakiki, kembali pada subtsansi fungsi yang sebenarnya pada media, itu sudah bukan eranya. Karena teknologi sudah melakukan intervensi dan mengalami peluasan, apalagi era globalisasi jadi makin subur. Kalau kata-kata ini kurang begitu faham, ya perlu and abaca lagi dari awal sampai kesini. Yang berikutnya, nanti ada sesinya lagi.
Media memberikan informasi yang positif, terus positif dan itu sudah diwajibkan. Lantas ada salah satu program yang makin turun ratingnya, mungkin saja sponsor tidak begitu membuat tertarik terhadap program tersebut jadi dana yang turun makin sedikit untuk menunjuang berjalannya program tv itu, mau bagaimana lagi. Program harus berhenti, sampai mendengar reaksi dari penonton yaitu masyarakat. Kalau tidak ada respon, ya selamanya program tersebut tidak tayang. Mungkin 10 tahun mendatang bakal tayang di televise lainnya, coba kalian cari mana program tv yang dulu pernah ada dan hilang, sekarang muncul lagi tapi tidak di stasiun tv itu malah statsiun tv milik tetangga.
Begini, media sudah mencoba melakukan yang namanya eksperimen. Ada program tv lama, dan sekarang sudah tidak muncul. Dan station televise lainnya, itu mencoba meniru konsep program tv tersebut yang pernah terkenal, dan coba di tayangkan dengan pembaca acara berbeda tapi konsem acara sama, dan penonton tidak merasa bernostalgia, malah meninggalkannya, dan mengganti channel yang lain. Dalam beberapa bulan, program tv tersebut berhenti, karena rating yang turun. Karena pasar tidak mengarah kesitu, kalau berani berulah dengan mengesampingkan pasar. Rating jelas turun, program tidak ada peminatnya, sudah selesai yang rugi televise sudah mengeluarkan biaya produksi acara cukup mahal, tapi ini bisa menjadi pembelajaran.
Pasar sekarang sudah rajanya, presiden sudah bukan apa-apanya. Ini yang membuat tidak berdaya, bukan salahmu juga bukan salahku, tetapi kita tiada berdaya. Era dulu dengan sekarang berbeda, cara menghadapinya pun juga ikut berbeda. Pak presiden sampai member kritik pada penayangan lagu tanah ait Indonesia yang tayang di televise hanya pada malam hari karena sebaiknya ditayangkan part time, biar masyarakat lebih bisa menghafal lagu Indonesia raya. Kalau seperti itu, masyarakat bingung karena hal itu sudah biasa, kalau tayang pada malam hari, pada saat channel televise mau selesai, dan akan tayang pada pagi hari. Masalah orang Indonesia bisa menghafal lagu Indonesia raya, itu adalah ujian untuk melihat apakah dirinya orang Indonesia, atau ingin menjadi Indonesia yang kebarat-baratan atau mau ke luar negerian.
Makin kesini, makin tertawa saja aku. Karena begini, sekarang itu bicara tren, dan trennya itu orang-orang sudah pada suka sama yang budaya luar negeri, kalau dalam negeri itu sepertinya tidak membuat menarik. Ada yang bilang jadul, begini-begini coba kita luruskan. Jadul sama jarang, jaman dulu sama jaman sekarang itu sama, kalau tidak percaya coba tengok media yang digunakan untuk menyampaikan informasi seperti Koran terbuat dari kertas. Dulu juga itu yang digunakan, kertas. Karena sekarang sudah jaman teknologi, semua serba internet, informasi sudah bisa kamu dapat dari halaman website dengan catatan punya data internet buat akses. Tapi sampai sekarang apa ada yang berubah, masalah Koran. Yang namanya Koran itu terbuat dari kertas, kalau dari batu orang tidak bisa bilang itu Koran, melainkan itu batu.
Tapi ada tulisannya, yang mana itu informasi masalah yang pernah presiden janjikan tapi tidak ditepati. Tetap saja, orang akan mencari Koran hari, dan tanggal berapa. Pokoknya Koran itu dari kertas, ingat soekarno membaca Koran ya yang terbuat dari kertas. Artinya tidak ada yang namanya jadul sama jarang. Yang ada adalah hari ini, ya hari ini. Untuk menciptakan hari esok, yang lebih berbeda. Pak presiden sampai memberi kritik seperti itu pada media, sampai sekarang bawahan anda kontribusi apa yang telah diberikan untuk pembenahan media menjadi lebih baik. Hari Pers Nasional, media hanya mengejar rating, sampai nanti hanya mengejar rating, sudah itu budaya yang mereka ciptakan, dan itu adalah pengaruh globalisasi. Apalagi banyak orang ingin meniru yang menurutnya itu baik, bukan menjadi diri sendiri dan mencari potensi pada diri mereka untuk bisa mereka bukan banggakan tapi unggul dan baik bagi semua.
Ini mau coba menjadi keren, inilah postingan dari redaksi kami. Semoga bermanfaat dan mendapatkan respon dari masyarakat, mau positif maupun negatif, jika visinya menjadi lebih baik dan berkembang, maka bisa diterima, bukan lapang dada, tapi penuh dengan rasa humanis, dan kesetiakawanan. Kita bangun Indonesia menjadi lebih baik, anak didik kita masih berada di jalan yang benar, dengan pengaruh globalisasi yang menjadi-jadi. Benar apa kata orang dahulu, kalau teknologi berkembang pesat, hati-hatilah dampak yang diberikan juga sepadan dengan perkembangannya. Sampai sekarang tidak ada yang ingin teknologi berhenti berkembang, tidak ada karena mereka sudah masuk dan menjiwai teknologi itu, lihat semua tidak ada yang melihat sekitar, tertunduk lesu tidak merubah bentuk semua mata tertuju pada handphone, ayo mengaku saja. Sekian dan salam.
Hari Pers Nasional 2016
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H