By Eileen Rachman & Billy Latuputty
DI beberapa situasi, kita sering mengamati para lulusan atau fresh graduate, yang mulai aktif mencari kerja, dan mengalami berbagai tantangan untuk mendapatkan pekerjaan yang diidamkan.Â
Ada yang mengirimkan lamaran ke segala penjuru. Ada yang sudah melakukan pendekatan jauh-jauh hari, misalnya dengan mengikuti program internship yang sang peserta magang berkesempatan menampilkan sikap maupun unjuk kerja yang baik, sehingga ia pun bisa mendapat kesempatan kerja yang lebih daripada yang lain. Ada juga campur tangan orang tua yang berusaha keras memanfaatkan jejaring sosialnya untuk memperkenalkan putra-putrinya.
Kita semua tahu ungkapan yang umum: banyaknya pencari kerja tidak menjamin mudahnya pemberi kerja mendapatkan calon yang tepat. Jadi, jelas bahwa tidak hanya pencari kerja yang sibuk mengais-ngais kesempatan, tetapi juga pemberi kerja berlomba-lomba dan berupaya keras untuk mendapatkan calon terbaik yang mereka butuhkan. Tengok keramaian job fair, perusahaan raksasa yang seolah lapar menjaring calon karyawan juga tidak kenal lelah membuka lapak penerimaan karyawannya, bahkan membuatnya semenarik mungkin untuk didatangi para pelamar.Â
Kenyataan bahwa banyak perusahaan aktif membuka peluang pekerjaan sering membuat pencari kerja lumayan panik untuk memilih perusahaan mana yang tepat untuknya. Kita bisa melihat bahwa ada dua jenis pencari kerja: pertama, mereka yang membabi buta, ingin segera mendapat pekerjaan, apa pun jenisnya, digaji berapa saja, asal bisa mendapat kesempatan direkrut. Kedua, mereka yang tenang, tahu kualitas dirinya, mengamati kesempatan dengan seksama, tetapi tidak pernah berhenti mengobservasi diri dan sekitar, berdiskusi, berusaha meningkatkan kompetensi dirinya dengan mencari bahkan menciptakan proses pembelajaran yang sesuai, lalu akhirnya menangkap kesempatan yang berpeluang besar.
Apa yang dicari perusahaan?
Apakah perusahaan memang mencari tenaga kerja yang murah? Apakah perusahaan, karena butuh cepat, akan mencari seadanya saja? Banyak perusahaan, yang setelah melakukan tes yang berlapis lapis serta intervieu yang intensif, merasa mendapat calon yang tepat, namun tetap mengalami kegagalan. Terkadang calon yang dianggap bagus ternyata tidak merasa betah di lingkungan birokrasi. Atau, juga calon merasa tidak nyaman mengenakan seragam setiap hari. Penyebab lainnya bisa saja karena kurang sekedar kurang sreg dengan waktu kerja.Â
Alasan-alasan yang rasanya sangat sederhana ini sangat merugikan perusahaan. Selain uang yang dimanfaatkan untuk membayar ongkos perekrutan, waktu dan kesempatan yang hilang, misalnya karena musim lulus lulusan sudah usai. Hal ini membuat perusahaan yang seharusnya bergerak maju dengan tim yang lengkap ternyata harus mundur kembali ke titik nol. Terlepas dari upaya-upaya pengembangan yang kemudian dilakukan untuk membantu karyawan beradaptasi, sesungguhnya perusahaan sangat memerlukan tenaga kerja yang bisa segera tune in dengan dinamika bisnis dan organisasi. Karena waktu terasa berjalan amat cepat,Â
kesempatan bisnis tumbuh pun terbuka lebar, namun tanpa dukungan tenaga kerja yang memadai, peluang bisa berlalu begitu saja, bahkan diambil alih oleh kompetitor. Jadi, kita bisa melihat bahwa bukan saja si pencari kerja yang berpikir dan berupaya keras untuk mendapatkan hasil yang terbaik, tetapi pemberi kerjapun demikian halnya. Pencari kerja dan pemberi kerja seolah 2 pihak yang tengah mencari jodoh. Â Â
Matangkan diri untuk bekerja duluÂ
Jika kebutuhan sesungguhnya ada di pihak pemberi kerja, lantas bagaimana dengan para pencari kerja? Di berbagai kesempatan, saya mewawancarai beberapa fresh graduate, tentang bagaimana mereka memiliki gambaran tentang dunia kerja yang akan mereka masuki. Tentunya hal-hal yang biasanya mereka bayangkan adalah kegiatan perkantoran, alat-alat dan fasilitas, hari kerja, dan tentunya gaji bulanan. Sementara itu, hal-hal yang sering tidak terbayang oleh mereka adalah hubungan atasan bawahan, dinamika kerja dalam tim, strategi menapaki jenjang karir, budaya perusahaan dan banyak hal lainnya.Â