Penyaluran Kredit yang massif yang dilakukan dalam 2 tahun terakhir baru terasa saat ini, meningkatnya NPL per bankan adalah akibatnya. Sementara pertumbuhan ekonomi belum sesuai dengan yang diharapkan.
Namun melihat perkembangan teknologi saat ini serta masifnya inovasi yang terjadi, permasalahan klasik ini belum juga ditemukan solusi bersamanya, semua bank mengadapi permasalahan NPL dengan koridor aturan yang juga sudah ditetapkan bersama, namun tetap belum efektif menekan beberapa pemberian kredit yang benar-benar sehat.
Mungkin dengan memahami point kendala dari setiap proses, kedepan dapat ditemukan inovasi dan kesepakatan bersama untuk mengatasi hal ini kedepannya. Karena bukan tidak mungkin proses keputusan kredit dengan pola konvensional saat ini dapat digantikan oleh suatu algoritma matematika dan sistim super computer  sehingga dapat lebih komprehensif dan integral dalam memutuskan pemberian kredit.
Jika melihat dari satu sisi perbankan, maka kenaikan NOL disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya
Target Pengurcuran Tidak bisa dipungkiri setiap Bank memiliki target pengucuran dana tertentu, pelaksana perbankan pun saling berlomba-lomba dalam memberikan kredit. Belum lagi target yang dibebankan kepada masing –masing orang dalam kaitan mengejat keuntungan. Perlombaan dan perebutan nasabah sering terjadi di lapangan, perpindahan nasabah juga sering terjadi di lini pemasaran kredit, dengan iming-iming bunga rendah tentunya.
Melanggar Prinsip Kredit Sehat, Sebenarnya telah diatur dalam aturan –aturan termasuk cara – cara pemberian kredit yang sehat oleh Perbankan namun tetap saja di lapangan, semua bisa terjadi, prinsip pemberian kredit yang baik hanya menjadi aturan diatas kertas saja dengan persepsi dan asumsi yang tidak sama juga menjadi pemicu terjadinya pelanggaran prinsip prinsip yang ada.
Terbatasnya pengetahuan, Sebenarnya Keputusan pemberian kredit terhantung dari analisa yang dilakukan perbankan, analisa ini sifanya sangat subjectif, meskipun beberapa bank telah membagi pola analisa kuantitatif, kualitataif, makro maupun mikro. Namun tetap subjektivitas menjadi yang paling utama. Persepsi dan asumsi serta kemampuan forecasting setiap orang pelaku analis kredit berbeda-beda. Termasuk tingkat pengetahuan dan pemahamannya. Sehingga dapat menjadi salah satu pemicu terjadinya kredit macet.
Kurangnya Pengawasan, Berapa banyak personil perbankan yang ditugaskan untuk melakukan supervisi kepada nasabah dalam menggunakan secara baik kredit yang diberikan. Bagai buah simalakama, pengawasan yang baik tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sehingga banyak yang abai kepada kredit –kredit dengan nilai tertentu luput dari pengawasan.
Kurang Memahami seleksi portopolio dan  Risiko. Sebenarnya Tidak banyak analis kredit yang mampu melihat dan mengukur ketepatan analisa nya dalam pemberian keputusan secara tepat. Pengetahuan mengenai portopolio dan seleksi risiko menjadi mutlak diperlukan, karena efek domino dari satu keputusan kredit yang diberikan kepada industri yang satu dapat berdampak kepada industry lainnya. Kacamata yang digunakan oleh analis kredit seharusnya mampu terbang bak helicopter view, yang mampu menghubungkan satu titik dengan titik lainnya.Sebaranya Nasabah yang tidak merata dan banyak nya nasabah yang harus diseleksi diperlukan satu kesepakatan bersama yang mana agar keputusan – keutusan yang dihasilkan memberikan dampak signifikan.
Kualitas Data, Bicara data sepertinya juga belum bisa diandalkan 100% validitasnya, banyak versi data dan terkadang perlu pertanyaan mendasar menegai apa latar belakang suatu data di sajikan. Belum lagi permasalahan pola transpansi yang masih perlu dipertanyakan lagi terutama kepada perusahaan – perushaan yang memang memiliki maksud tertentu dengan laporan – laporan yang dibuatnya
Dengan konstrain diatas, seharusnya pemerintah memberikan perhatian serius terhadap industry perbankan, selera risiko yang bermacam –macam dari masing – masing perbankan seharusnya bukan menjadi sandungan juga bagi perbankan sendiri.