Mohon tunggu...
Eko Raharjo
Eko Raharjo Mohon Tunggu... Administrasi - Belajar menulis

Bismillah ...Semoga menjadi jejak dan berbagi bersama

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Negara Darurat Debt Collector

25 Oktober 2017   13:21 Diperbarui: 25 Oktober 2017   13:44 1050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source picture bharatanews.id

Kapan terakhir anda di telepon oleh bank yang menawarkan kartu kredit ? akhir-akhir ini banyak sales melakukan penawaran kredit melalui telepon. Meskipun ada larangan namun kenyataannya tetap dilakukan oleh para sales kredit tersebut.

Banyak lembaga keuangan bank maupun non bank saat ini berlomba-lomba menawarkan pinjaman tunai dengan cara angsuran kredit. Belum lagi menjamurnya start up fintect yang berorinetasi lending (meminjamkan uang) .

 Kali ini tidak akan membahas atau meributkan darimana uang --uang itu berasal namun pesta kucuran kredit dari berbagai macam institusi ini menarik untuk dikaji lebih dalam mengenai dampak serta oportunity yang ditimbulkan.

Pola perbankan sebagai instutusi konvensional mengajarkan bahwa pengelolaan uang secara kredit di indonesia saat ini masih menguntungkan, dengan tingkat bunga 8%-14% serta Non Perfoming loan (NPL) perbankan di kisaran 5% dipandang akan cukup menggiurkan bagi beberapa lembaga keuangan.

Dibalik meriahnya kucuran kredit sebenarnya ada benteng yang harus kuat berdiri dibalik lembaga keuangan tersebut yakni profesi penagih hutang ( a.k.a Debt Collector ). Leasing, pegadaian, bank bahkan hampir semua industri memerlukan tim pemburu hutang.

Ramai --ramai tentang pekerjaan yang akan digantikan robot atau teknologi artificial maka debt collection menjadi pekerjaan yang awet dan tetap dibutuhkan dimasa mendatang. Melakukan pola pengingat, menagih dan memberikan solusi adalah standart debt collector yang baik.

Stigma buruk mengenai debt collector selama ini terbentuk karena kegarangan orang dari suku tertentu yang melakukan upaya collection dengan cara paksa atau tidak semestinya atau stigma negatif lainnya. Padahal posisi debt collcetor ini setara dengan wakil perusahaan, ditangan mereka cash flow perusahaan berada, nama baik perusahaan ditanamkan, bahkan di luar negeri peran debt collector sebagai konsultan yang profesional.

Justifikasi pendekatan tiap customer yang berbeda-beda membuat ilmu mengenai pangihan hutang ini lebih luwes dan memerukan pemahaman efek psikologi.

Banyak nya pola kredit di negeri ini pasti membutuhkan peran penagih hutang ( debt Collector) yang profesional dalam mengelola portopolio hutang bagi perusahaan. Pendekatan konflik sudah tidak relevan dilakukan karena adanya benturan perlindungan undang --undang perlindungan konsumen Pasal 62 serta merujuk pada banyak nya kejadian kekerasan phisik akibat aktivitas penagihan.

Namun perusahaan memerlukan kepastian cash flow dimana peran ini diletakkan di pundak debt collector sebagai tukang reminder pada prilaku konsumen yang melalaikan kewajibannya membayar hutang.

Belum ada data valid yang mendata berapa banyak orang yang berprofesi sebagai debt collector di indonesia, atau asosiasi  yang melakukan sertifikasi keahlihan standart minimum bagi seorang debt collector dalam menjalankan tugasnya, namun disisi lain seperti disebutkan diatas, kebutuhan profesional debt collector ini tidak dapat dihindari ditengah maraknya pola konsumtif pemberian kredit di indonesia saat ini serta prilaku konsumen yang kurang tertib dalam mengelola kewajibannya (hutang). 

Mari manfaatkan peluang ini dengan menjadi Debt Collector yang profesional dan menjadi sahabat bagi nasabah dan perusahaan.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun