Menurut Hendra, kasus perceraian dewasa ini telah ikut merebak di antara anggota jemaat gereja. Ketika konflik muncul dalam hubungan suami istri dan konflik itu tidak segera diselesaikan, perceraian menjadi opsi yang dianggap paling baik.[1] Hal yang sering dilupakan adalah perceraian ini melukai anak sebagai korban pasif dari keputusan tersebut.
Menurut Elizabeth Marquardt, banyak gereja yang gagal menggunakan kesempatan untuk melayani anak-anak korban perceraian. Buruknya lagi, ketika gereja kurang memahami tentang pengalaman mereka, justru akan membangkitkan penderitaan dan luka di antara mereka, karena gereja bahkan tidak mendengar kisah mereka dan tidak mengerti perasaan mereka.[2]
Padahal gereja dipanggil untuk melayani mereka yang rentan. Akhirnya banyak anak-anak korban perceraian tidak bertumbuh secara spiritual. Gereja harus memperhatikan fenomena ini. Penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth Marquardt dan timnya menyatakan bahwa dua dari tiga anak-anak korban perceraian yang kasusnya diketahui oleh jemaat secara jelas mengaku bahwa mereka tidak dijangkau oleh jemaat dalam gereja mereka.[3]
Meskipun penelitian ini bisa diragukan, tetapi setidaknya menggambarkan gereja pada umumnya yang kurang peduli dengan fenomena ini. Pertanyaan bagi kita adalah bagaimana kita sebagai gereja menolong dan mendampingi mereka? Gereja tidak bisa menggantikan peran keluarga, tetapi gereja bisa menolong mereka untuk membalut luka.
Melalui artikel ini, penulis akan berusaha menjawab pertanyaan tersebut dengan terlebih dahulu menjelaskan dampak perceraian bagi anak-anak dengan pendekatan ontologis, kemudian penulis akan memberikan langkah praktis bagi gereja untuk menolong mereka.
Pendekatan ontologis yang akan digunakan penulis dalam menjawab pertanyaan adalah melalui pandangan Andrew Root dalam bukunya yang berjudul The Children of Divorce. Pendekatan ontologis dengan kata lain adalah pendekatan mengenai keraguan anak terhadap eksistensinya.
Dampak Perceraian
Perceraian menyerang keamanan ontologis mengenai siapa kita di dunia. Ini berarti perceraian menyerang jati diri. Menurut Root, ketika ayah dan ibu berpisah, anak menjadi cemas karena mereka tidak lagi bisa bergantung pada komunitas yang bertanggungjawab atas eksistensinya.
Dengan kata lain, anak ada karena relasi antara ayah dan ibunya. Sehingga, ketika ayah dan ibunya memutuskan untuk bercerai, anak meragukan eksistesinya.[4] Anak-anak korban perceraian seringkali mendengar dari orang-orang sekitar bahwa perceraian ini bukan salahnya, semuanya akan baik-baik saja, semua kebutuhan si anak akan terpenuhi, dan sebagainya. Namun anak-anak korban perceraian tidak menakuti hal-hal tersebut. Lebih dari itu, mereka cemas akan eksistensi mereka.[5]
Ketika perceraian terjadi, kesatuan cinta ayah dan ibu menjadi berserakan. Kedua orang tua mungkin masih mencintai dan memerhatikan anak itu dengan cara yang sama, tetapi hal ini sama sekali tidak menyelesaian masalah keraguan akan eksistensi anak.
Anak diciptakan bukan karena memilih salah satu dari orang tua mereka, tetapi karena persatuan dari kedua orang tua mereka. Itulah sebabnya, luka terbesar anak-anak korban perceraian bukan pada hilangnya kasih sayang orang tua mereka, tetapi hilangnya komunitas yang ada sebelum mereka ada dan komunitas yang mengundang mereka untuk hadir di dunia.[6]Â