Lahir dan bertumbuh di sebuah pulau kecil, Alor, dengan ‘pribumi’ (tanda petik diberikan karena menurut pelajaran sejarah di sekolah, nenek moyang orang Indonesia dari daerah Cina Selatan yang datang dalam dua gelombang, proto-melayu dan deutro-melayu. Jika ada pembaca yang tidak setuju, maka buku pelajaran sejarah yang kita pelajari waktu di bangku sekolah harus dinyatakan salah dan diganti.) yang jumlahnya jauh lebih banyak dari yang berketurunan lain (maklum pulau kecil sehingga tidak banyak yang melirik), masa kecilku sungguh indah.  Keberadaanku sebagai anak dari orang tua berketurunan cina tidak pernah dipersoalkan oleh teman-teman yang berkulit ‘penduduk asli’ dengan mata indah lebar dan lipatan yang jelas terlihat. Kami bermain tanpa melihat, apalagi mempersoalkan warna kulit dan keaslian sebagai warga negara Indonesia.
Tidak hanya bermain bersama, cukup sering kami makan bersama di rumahku atau rumah teman. Aku selalu terkenang makan di rumah teman yang orang tua-nya sangat pas-pasan sehingga untuk makan mereka dijatah, termasuk ketika aku makan di rumahnya. Namun sukacita kami selama makan bersama sambil bersenda gurau membuat makanan yang tidak seberapa banyak itu menjadi lezat dan mengenyangkan. Sebaliknya ketika makan di rumahku, terlahir dalam keluarga cukup berada, makanan cukup berlimpah dan tidak dijatah.  Aku mengerti keadaan ekonomi orangtua temanku, sehingga dengan senang hati aku biarkan mereka makan sepuasnya. Namun bukan itu yang membuat persahabatan kami erat dan makanan yang kami makan terasa nikmat. Bukan. Kebersamaan, persahabatan, perasaan saling menerima tumbuh dengan begitu indah karena kami merasa cocok bermain bersama. Ada  kontak kimiawi yang sulit kujelaskan. Kami bahkan tidak makan bersama saja, tapi juga beberapa kali tidur bersama karena aku suka mengajak mereka tidur di rumahku. Masih jelas dalam ingatanku rambut kami  dijadikan rumah oleh para kutu yang tidak ingin berpisah dengan kami, entah siapa menulari siapa, tapi kami tidak pernah persoalkan bahkan menjadikan salah satu aktifitas di sela bermain, yakni saling mencari kutu di kepala secara bergantian dan dengan semangat 45 memencet kutu sambil bersenda gurau.
Selain berpenduduk asli lebih banyak, tempat kelahiranku juga hampir 90% penduduknya beragama Kristen. Orangtuaku yang moyangnya pada beragama Kongfuchu, akhirnya memilih menjadi pemeluk agama Kristen. Â Teman-temanku pun banyak yang beragama Kristen. Tetapi bukan karena kesamaan agama ini yang membuat kami erat, karena di tempat kelahiranku aku tidak pernah mendengar ada seruan kemarahan karena perbedaan agama. Aku bahkan tidak sadar ketika memiliki teman yang beragama muslim, kecuali aku tahu bahwa dia berdoa lima waktu dan karenanya terkadang aku harus menunggu di teras rumahnya kalau ingin mengajaknya bermain. Papanya seorang hakim yang baik hati dan menjadi teman papaku bermain tenis.
Aku masih ingat wajah dan namanya dengan baik. Nur, nama teman muslimku. Memang intensitasku bermain dengannya dan kedekatanku jika dibanding dengan teman-teman yang beragama Kristen, aku akui lebih dekat dengan teman-teman yang beragama Kristen. Tetapi apakah ini karena perbedaan agama? Bukan, sekali lagi ketika itu aku tidak merasa dia berbeda karena agama. Lantas apa penyebabnya? Semata-mata karena perbedaan karakter. Nur, temanku seorang yang kalem, tidak banyak bicara, dan tidak terlalu suka permainan-permainan petualangan yang kusuka. Dia murni orang rumahan yang kalem, halus, dan tenang. Sekalipun tidak seakrab dengan teman-teman yang lain, namun kami cukup sering bermain dan ngobrol bersama. Persahabatan kami terus berlanjut sampai orang tuanya bertugas di tempat lain. Aku mengantarkan keberangkatannya dan kami berpisah dengan saling berpelukan dan menangis tersedu-sedu. Semenjak bisa akses ke Facebook, aku berusaha mencari keberadaannya dengan memasukkan namanya, namun sampai sekarang aku belum menemukan dirinya.
Setelah menyelesaikan Sekolah Dasar di Alor, aku pindah ke Surabaya bergabung dengan kakak-kakakku yang sebelumnya sudah pindah demi mendapatkan pendidikan yang lebih baik.  Aku sangat terkejut saat di jalan beberapa anak seusiaku meledekku dengan teriakan ‘cino...cino...’ Semula aku berpikir mereka sedang meneriakkan orang lain. Lirik sana lirik sini, ternyata tidak ada orang di sekitarku. Kakakku menyenggolku dan mengatakan tetap jalan saja, tidak usah menggubris teriakan mereka.
Sejak itu aku selalu merasa tergoncang jika mendengar teriakan-teriakan ini. Ada perasaan tidak terima dan dilecehkan. Aku tidak berbeda dengan mereka kecuali warna kulit dan mataku yang tidak sebesar mereka. Aku warga negara indonesia, lahir dan besar di Indonesia. Aku punya teman-teman yang sangat banyak di Alor yang kulitnya bahkan lebih gelap dari mereka dan mata yang lebih besar. Â Aku berteman sangat akrab, makan, dan tidur bersama mereka. Mengapa di Surabaya mereka memaksaku berbeda dengan mereka? Aku ingin berteman dengan mereka. Aku sangat kehilangan teman-temanku di Alor, aku ingin mereka bisa menggantikan kerinduanku akan teman-temanku di Alor. Namun semakin lama tinggal di Surabaya, semakin aku sadar ada orang-orang yang menganggapku bukan orang Indonesia karena warna kulitku.
Selain warna kulit, semakin dewasa aku sadar bahwa agamaku juga memberi perbedaan yang signifikan bagi beberapa orang. Aku mendengar gereja atau vihara ditutup, dipersulit, dan sebagainya. Sebaliknya di beberapa tempat, orang muslim mengalami kesulitan beribadah karena mayoritas penduduk disana beragama Kristen.
Bagaimana dengan kenyataan hidup bersama? Aku tetap punya beberapa teman ’pribumi’ dan non kristen. Ada yang sangat baik dan menawarkan persahabatan yang tulus tanpa melihat perbedaan warna kulit dan agamaku. Mereka memiliki prinsip-prinsip yang benar dalam hidup bersama, misalnya tidak menyalahkan orang lain, peduli dengan perasaan orang, siap menolong, dan lain-lain. Sebaliknya ada juga yang ketika berselisih mengeluarkan kata-kata kasar, merasa selalu benar, mengejek keabsahan orang lain sebagai warga negara indonesia, dan lain-lain. Demikian juga dengan teman-teman yang ’pribumi’ dan beragama Kristen. Ada yang menawarkan persahabatan tanpa perbedaan, namun ada juga yang mempersoalkan ras.
Lantas bagaimana dengan teman-teman dengan ras yang sama, namun berbeda agama? Tidak terdengar kata ’cino’, namun tidak berarti semua berjalan dengan mulus. Tetap ada konflik, perbedaan, dan perselisihan. Akhirnya, dengan teman sesama ras dan agama pun bukan berarti semuanya berjalan baik-baik saja. Selama manusia masih hidup dengan berbagai keberdosaan dalam dirinya, maka perbedaan interest, kepentingan, dan pemahaman selalu bisa memicu konflik dan perselisihan.
Kenyataan sehari-hari yang kita alami juga nampak dengan jelas dalam pertarungan pilkada DKI. Ada politisi-politisi ‘pribumi’-non Kristen, ’pribumi’-Kristen, non ’pribumi’-non Kristen, dan non ‘pribumi’-Kristen yang integritas dan kredibilitasnya nyata dalam kesehariannya. Sebaliknya ada yang sangat bertolak belakang. Presiden kita tercinta, Jokowi, adalah contoh politisi ’pribumi’ dan non Kristen yang dalam menjalankan tugasnya telah menunjukkan nilai-nilai ke-Kristen-an yang diajarkan Tuhan Yesus. Ahok yang non ’pribumi’ dan Kristen dalam mengembankan tugasnya diakui oleh banyak orang telah menjalankan nilai-nilai ke-Islam-an yang rahmatan lil alamin.
Ternyata agama pada dasarnya mengajarkan hal yang baik, namun dalam prakteknya diplintir sedemikian rupa oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan memiliki ’kebenaran’nya sendiri. Maka tidak heran jika ada beberapa politisi yang apa pun ras dan agamanya dalam berpolitik dan menjalankan tugas tidak menunjukkan nilai-nilai kebenaran dalam agamanya.