Mohon tunggu...
Ewin Suherman
Ewin Suherman Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Idiot Virgin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[IMLEK] Garis Tangan

20 Januari 2012   08:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:39 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Garis Tangan

Oleh : Ewin

No. 59

“Dia China,” bisik emak lirih, usai menarik lenganku menuju ruang tengah.

“Sama saja, Mak. Karena dia juga muslim seperti kita. Orang tuanya sudah berhaji tahun lalu,” ujarku meyakinkan.

Emak menatapku dalam. Tarikan nafasnya tegas, kalau beliau tak sepenuhnya menerima peyakinan dariku. Kutarik tangannya membawa dalam dekapanku.

“Emak tak usah khawatir, Cecen sholatnya bagus. Dia juga pinter ngaji. Jadi keinginan Emak punya mantu perempuan salihah akan terpenuhi.”

“Lalu bagaimana dengan pakaiannya? Kepalanya yang tidak ditutupi jilbab?”

Ini yang sulit. Cecen sendiri kerap berargumen denganku mengenai caranya berpakaian. Dan hasilnya, lebih sering tak bagusnya. Cecen belum  berjilbab bukan karena belum siap atau sedang menunggu siap. Melainkan ia tengah menyiapkannya. Dengan caranya sendiri tanpa campur tangan orang lain yang alih-alih membantu, justru akan nampak seperti mendikte dirinya.

Sedang ia tipikal pemberontak. Mana ada ia suka diperintah kesana kemari. Begini dan begitu. Kecuali patuh kepada protokol, yang kalau pun masih ada satu saja keganjilan ia akan berang dan bertindak.

“Kenapa diam?”

“Eh, anu,”

“Berarti kamu bohong.”

“Ndhak, Mak. Aku sama sekali ndhak bohong. Cecen memang begitu.”

“Memang begitu?” Emak menaikkan kedua alisnya. “Itu artinya dia tahu tapi tidak mau tahu? Dan kamu membiarkan saja? Beritahu dia dulu jika kamu memang telah siap membimbingnya. Sesuatu yang diawali dengan niat baik, hasilnya akan mengikuti,” pungkas Emak sebelum kemudian beranjak meninggalkanku sendiri.

~o0o~

“Jangan ajari aku mengenai cara berpakaian yang betul. Karena pencuri saja akan melakukan aksinya secara diam-diam. Agar lakunya tidak diketahui orang lain. Karena apa? Karena dia akan malu jika ketahuan,” tegas Cecen malam harinya aku mengantar pulang. Ia marah karena rupanya ia mendengar apa yang dibicarakan aku dengan Emak di ruang tengah.

“Begitu pula denganku. Aku cukup tahu dengan apa yang aku lakukan. Apa yang akan aku lakukan. Aku sudah memperhitungkan semuanya. Lagi pula, bukankah tidak sekali atau dua kali kita membicarakannya?”

Pandangannya menyudutkanku. Mata sipitnya melebar. Ia menolak ketika aku hendak meraih tangannya.

“Jika begini jadinya, itu berarti kau bohong. Kau bohong telah mengenalkan aku kepada keluargamu mengenai cerita-ceritamu. Kalau tidak, tidak mungkin ibumu berkata demikian.”

Ada isak diantara riak kalimatnya. Jelas sekali ketika ia menunduk dan membiarkan sebagian rambutnya jatuh menutupi wajahnya. Sekali lagi ia menolak ketika aku berusaha meraih tangannya. Lakunya yang segera berbalik membahasakan jika ia mengusirkan. Namun tidak, tak akan tenang diriku sebelum apa yang terjadi saat ini tuntas. Aku harus meyakinkan Cecen sudah selesai dengan tangisnya sebelum aku memenuhi yang menjadi lakunya itu.

“Aku lelah. Ingin istirahat,” ujarnya kepadaku yang dengan sigap sudah berdiri menghalangi langkahnya. Dan kali ini ia menyerah kala aku sudah memegangi kedua bahunya menekan ringan.

“Tunggu dulu!”

“Apalagi?” gertaknya parau. Matanya sesak oleh kilatan yang mencair. “Mau menunggu apalagi? Tiga tahun Fahri. Tiga tahun!” Cecen mengangkat tiga jarinya di hadapan mukaku. “Tiga tahun kau merapal cerita mengenai keluargamu yang sudah tentu akan menerimaku tanpa mempertanyakan mata sipit da kulit kuningku. Tiga tahun pula baru sekali ini kau mengenalkan aku dengan mereka, sedangkan kita tinggal di satu kota yang sama. Apalagi namanya jika itu bukan pembohongan.”

Matanya sipitnya semakin penat. Mendengar suaranya seakan aku di kepung ribuan panser. Tak hanya serupa ancaman, namun juga tudingan. Selintas, kutangkap seringai lembut pada sudut bibirnya.

“Aku sudah lama menduga hal ini Fahri. Bahkan sedari awal kau selalu saja mengelak untukku meminta menemui keluargamu. Tapi tingkahmu yang penuh dengan kejutan membuatku membuang semua pemikiranku mengenai itu semua. Hingga akhirnya aku benar-benar lupa kalau keluarga kita tinggal pada satu kota yang sama. Tak butuh waktu satu jam untuk saling bersua. Tapi,” Cecen tersenyum menyeringai.

“Tapi mungkin benar. Garis tangan. Ya, garis tangan kita tidak memiliki titik temu. Sehingga alir mengelak dari muara.”

Cecen melewatiku dan masuk kedalam rumahnya. Kudengar bunyi kertak pintu yang dikunci. Tak dibiarkannya aku mengikuti. Menjelaskan dan berterus terang mengenai kebenaran praduganya. Bahwa aku tak pernah berhasil menarasikan siapa dirinya kepada keluargaku dengan baik. Sehingga mereka bisu. Tak bisa membaca siapa Cecen. Siapa cintaku. Ah, ketika kuikuti alur garis tanganku. Garis jodoh menjauh. Mengelak dari alur yang seharusnya menyatu dengan alur garis tangan Cecen kami pernah menyatukannya tempo hari. Ah

-- Selesai --

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju ke akun : Cinta Fiksi ( berikut Linknya : http://www.kompasiana.com/androgini)


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun