Dendam
oleh : Ewin
“Kita harus memasang origami ini,” kata ibu dengan memasang origami burung bangau pada setiap pintu dan jendela.
“Kenapa harus origami?” tanyaku. Tapi ibu tidak membalas, alih-alih memendangku dengan tatapan yang seolah aku hendak memprotesnya. Sama sekali tidak. Akan akan senantiasa mengikuti apa yang diperintah olehnya. Bahkan ketika aku harus menyimpan abu jenasah ayah di bawah kolong ranjangku, alih-alih membuangnya ke laut.
Ini malam ketiga kepindahan kami di Jakarta, sekaligus malam ketujuh kebersamaanku dengan ibu tanpa adanya ayah. Ya, ayah meninggal setelah berhari-hari dihantui kecemasan. Ketakutan yang menggiringnya melakukan bunuh diri.
Bunuh diri. Aku lebih suka menyebutnya demikian. Karena begitulah yang aku lihat. Entah karena alasan apa ayah tiba-tiba menjadi brutal. Berlari kesana-kemari dengan ketakutan yang seakan begitu mengancamnya. Lantas, demi mengakhiri rasa takutnya itu, beliau mengakhiri hidupnya dengan menyayat danmenusukkan pisau kebeberapa bagian tubuhnya. Terakhir adalah pada bagian dada, dimana aku melihat dengan jelas robekkannya memperlihatkan jantung ayah berhenti berdetak.
Akan tetapi entah kenapa ibu menolak dan begitu marah saat aku menyinggung penyebab kematian ayah.
“Onryou,” desis ibu dengan penuh amarah. “Dialah penyebab kematian ayahmu.”
Ibu selalu menyebut mitos hantu pendendam itu sebagai pembunuh ayah. Aku tak mengerti maksudnya. Jika memang hantu itu ada. Kenapa aku tak melihatnya saat kejadian.
Kraaak!!