Jika mendengar tentang pembangunan, pasti juga tak lepas dengan adanya perubahan. Dalam konteks pembangunan, perubahan yang diharapkan pastinya adalah perubahan yang progresif. Sementara untuk mencapai sebuah perubahan yang lebih baik, maka dibutuhkan sebuah proses. Proses pembangunan di level desa tak lepas dari peran dari berbagai pihak seperti pemerintah desa, BPD, kelompok karang taruna, kelompok tani dan KWT, juga perlu melibatkan kelompok marjinal agar aspirasi dan kebutuhan mereka dapat terfasilitasi. Kelompok marjinal menjadi salah satu kelompok yang penting untuk dilibatkan dalam proses pembangunan agar terwujudnya pembangunan inklusif dan berkelanjutan.
Pembangunan inklusif, dikutip dari Rauniyar (2010), mengacu pada peningkatan distribusi kesejahteraan dengan peningkatan pencapaian rata-rata. Pembangunan inklusif bukan hanya dicapai secara kuantitatif, tetapi fokus pada kesejahteraan yang merata. Masyarakat, terutama kelompok marjinal, dijadikan sebagai subjek dalam pembangunan dimana partisipasi mereka sangat penting untuk mendorong distribusi kesejahteraan ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan. Pembangunan desa yang inklusif diharapkan nantinya mampu memberikan kesejahteraan yang berkeadilan dan merata bagi masyarakat desa. Peran pemuda sebagai penggerak perubahan dengan ide dan gagasannya yang fresh mengikuti tren sangat dibutuhkan dalam proses pembangunan desa. Pemuda tentunya harus memiliki visi dan misi gerakan inklusif dengan mendorong kelompok marjinal di desa untuk ikut serta dalam kegiatan pembangunan.
Lahirnya UU Desa No. 6 Tahun 2014 menjadi dasar bahwa desa sudah saatnya menjadi subjek dalam pembangunan dengan menekankan pada asas rekognisi, subsidiaritas, dan demokrasi lokal dalam menjalankan proses pembangunan desa. Spirit dalam UU Desa mendorong desa untuk maju namun tetap menjaga lokalitas. Untuk mewujudkan pembangunan desa yang inklusif yaitu dengan berorientasi pada kepentingan dan kebutuhan warga dari berbagai latar belakang dan kondisi sosial, terutama kaum marjinal. Pembangunan desa yang inklusif berarti pembangunan yang mengutamakan isu-isu publik seperti pelayanan, perencanaan dan keuangan secara akuntabilitas, transparasi, partisipasi, inklusi dan kesetaraan gender, dan multikultural.
Dalam proses pembangunan desa, dibutuhkan "penggerak" untuk dapat menjadi pemantik masyarakat desa agar dapat bergerak dan berkolaborasi bersama membangun desa. Kelompok dalam masyarakat yang sejatinya memiliki potensi untuk menjadi tonggak dalam pembangunan yaitu adalah pemuda. Pemuda menjadi salah satu agent of change yang dapat berkontribusi terhadap pembangunan desa dengan semangat mereka yang masih membara serta pemikiran mereka yang sesuai dengan perkembangan zaman (milenial), kritis, dan berwawasan. Dengan begitu, mereka dapat menganalisis kondisi, masalah, serta potensi yang ada di desa untuk dapat menjadi panduan dalam proses pembangunan desa agar menjadi terarah.
Kegiatan lembaga kepemudaan desa seperti karang taruna menjadi arena pemuda untuk dapat berdiskusi, bertukar pikiran dan insipirasi, serta berkreasi. Keaktifan pemuda perlu ditingkatkan untuk bersama membangun sinergi dengan sesepuh desa serta perangkat desa setempat. Hal tersebut menjadi urgensi dalam rangka pembangunan desa dengan melibatkan peran serta masyarakat desa dari berbagai latar belakang agat dapat terwujudnya inklusivitas. Harapan generasi milenial memiliki kesadaran akan partisipasi dan berperan dalam pembangunan desa yang inklusif dan demokratis, mulai dari proses perencanaan pembangunan, penganggaran dana pembangunan, pelaksanaan pembangunan desa, pelaporan hingga pertanggungjawaban kepada masyarakat desa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H