Di saat Pandemi Covid-19 ini, perempuan terdampak bukan hanya dari aspek kesehatan saja, namun juga aspek sosial dan ekonomi yang berlipat ganda karena Pandemi Covid-19 yang memicu kerentanan baru dan multidimensi. Sebelum Pandemi Covid-19, perempuan memang telah dihadapkan pada berbagai permasalahan seperti beban ganda, kekerasan dalam rumah tangga/gender, sulitnya akses pekerjaan dan pendidikan, mengalami kehilangan pekerjaan, dan tidak adanya hak atas reproduksi. Permasalahan-permasalahan tersebut membuat perempuan mengalami subordinasi dan diperparah saat terjadi Pandemi Covid-19.
Di dalam rumah tangga, suami yang di PHK atau dirumahkan pastinya menjadi terbebani secara psikologis dan finansial karena kehilangan sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Bagaimanapun, istri tetap berjuang untuk tetap berupaya mencari alternatif penghidupan baru dengan inisiatif mereka.Â
Saat ini banyak perempuan yang mulai membuka usaha baru dengan membuat masker, memproduksi frozen food, memodifikasi rempah-rempah menjadi obat tradisional, menanam hidroponik yang hasil panennya dijual atau sekedar untuk ketahanan pangan keluarga, melakukan solidaritas pangan, dan melakukan gerakan tanam padi oleh Kelompok Tani Wanita (KWT).
Ibu-ibu saat ini juga gencar memasarkan produk mereka bukan hanya di pasar atau di warung saja, namun juga mempromosikan produk mereka secara luas melalui media sosial seperti membuat online shop di Instagram, facebook, dan di platform e-commerce jual beli online, bahkan mereka gencar melakukan promosi dari mulut ke mulut atau promosi melalui Whatsapp. Ibu-ibu saat ini juga semakin gencar mengikuti berbagai pelatihan atau webinar yang membahas tentang strategi marketing dalam berwirausaha sebagai sumber penghidupan alternatif di masa Pandemi Covid-19.
Di sektor pendidikan, sistem pendidikan saat terjadinya Pandemi Covid-19 mulai berubah dari pembelajaran langsung di kelas menjadi belajar daring. Kebijakan pemerintah ini tentunya menjadi beban untuk para orang tua, terutama ibu. Sistem pembelajaran daring mengubah peran guru yang tadinya mengajar langsung di kelas menjadi tergantikan oleh ibu yang harus mendampingi anak-anak mereka belajar daring melalui zoom, google meet, dan aplikasi daring lainnya.
Anak-anak tidak memiliki alat komunikasi sendiri untuk bisa mengikuti pembelajaran daring, sehingga harus meminjam alat komunikasi orang tuanya atau bahkan tidak memiliki alat komunikasi sama sekali karena harganya yang mahal. Saya melakukan wawancara dengan salah satu aktivis di Flores, NTT, ia berkata "masalah yang pertama, mau beli makan atau beli pulsa?Â
Kondisi ekonomi yang sangat terpuruk ini, beberapa sekolah seperti di NTT ini harus kita bayar uangnya. Yang kedua, jaringannya setengah mati. Kita mau belajar kasih materi cuma dua menit. Ketika sinyal tidak ada, sudah ditutup itu bahan materi belajar. Yang ketiga, membeli android seharga satu juta ke atas. Ibu-ibu di kampung tidak bisa, bagaimana dipaksa membeli hp android, mereka tidak bisa mengoperasikan dan membantu anak". Namun, permasalahan tersebut tak membuat para ibu menyerah dan mengusahakan agar anak tetap bisa mengikuti pembelajaran daring. Alat komunikasi yang tadinya digunakan ibu-ibu untuk urusan pekerjaan atau berbisnis, mereka harus mengalah untuk digunakan sebagai media belajar anak-anak mereka.
Ibu-ibu yang bekerja di sektor formal namun harus Work From Home (WFH), mereka mengalami beban ganda yang luar biasa di rumah. Mereka harus mengerjakan urusan kantor di rumah, tetapi mereka juga harus mendampingi anak belajar daring, dan juga harus mengerjakan urusan domestik lainnya. Belum lagi jika mereka memiliki bayi atau sedang hamil yang membuat mereka cepat kelelahan mengurus semua urusan mereka.
Di sektor kesehatan, perempuan dalam hal ini mengalami kerentanan karena akses kesehatan yang kurang optimal. Dilansir dari Kompas.com, Hampir 2 juta wanita dan anak perempuan di 37 negara telah kehilangan akses terhadap kontrasepsi dan layanan aborsi karena pandemi virus corona. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) membuat masyarakat harus selalu berada di rumah dan membuat banyak kasus kehamilan yang tidak terencana.
Dan dilansir dari Newsdetik.com, selama pandemi ini, klinik kesehatan kecil banyak yang tutup sementara. Dokter dan bidan juga membatasi jumlah pasien semenjak Indonesia menerapkan pembatasan sosial. Hal ini menjadikan beban perempuan semakin berat, namun mereka tetap bisa melakukan kegiatan seperti biasa dimana mereka hamil, lalu harus membantu suami untuk mencari pendapatan keluarga, harus mengurus urusan domestik, serta harus mengurus anak apalagi sistem pembelajaran daring yang melimpahkan beban pendidikan kepada perempuan.
Perempuan dengan beragam beban kerjanya membuat perempuan justru malah mampu bangkit dengan kemampuan dan ketangguhannya untuk merespon pandemi Covid-19. Perempuan dinilai memiliki daya responsivitas yang tinggi dalam menghadapi Pandemi Covid-19 ini karena mereka sudah terbiasa dengan beban/kerja ganda yang mereka lakukan sebelum Pandemi Covid-19. Di saat kondisi ekonomi keluarga terancam, perempuan terus berupaya untuk mencari alternatif penghidupan bagi keluarganya, terutama pada perempuan yang menjadi kepala rumah tangga atau single parent selama Pandemi Covid-19.Â