Catcalling atau street harrasment marak terjadi di sekitar kita tanpa disadari dan istilah tersebut masih asing di kalangan masyarakat awam. Bahkan ketika orang lain tengah menjadi korban catcalling, orang yang ada di sekitarnya tetap tak acuh karena menganggap catcalling merupakan sebuah candaan belaka.Â
Tetapi, tidak ada kaitannya antara pelecehan seksual catcalling dengan sebuah candaan karena tetap saja korban tidak nyaman dan merasa dirinya terancam. Catcalling menjadi mimpi buruk bagi wanita di ruang publik.
Catcalling merupakan suatu pelecehan seksual di ruang publik berupa "panggilan manja" atau komentar terhadap bentuk tubuh wanita yang mengarah pada orientasi seksual dan rangsangan seksual secara visual. Contoh "panggilan manja" atau catcalling yaitu seperti "cantik", "sayang", "seksi", "cewek suit suit", dan sejenisnya.
Panggilan tersebut terjadi di ruang publik seperti di mall, halte, angkutan umum, stasiun, di jalan, di pasar, tempat kerja, dan tempat umum lainnya. Terkadang panggilan tersebut tidak membuat perempuan tidak nyaman dan bahkan merasa takut.Â
Catcalling merupakan godaan yang mengarah pada arah seksualitas untuk perempuan bukan sebagai pujian atas paras perempuan, melainkan untuk mencari perhatian kepada perempuan dengan harapan mereka dapat melakukan hubungan seksual dengan perempuan tersebut.Â
Perempuan dijadikan objek laki-laki untuk mau digoda karena mereka sudah tertarik secara seksual atas paras mereka dan terkadang laki-laki menjadikan godaan tersebut sebagai langkah awal untuk melangkah ke arah perkosaan.
Pelecehan seksual catcalling tak lepas dari konsep seksisme dan gender. Secara tidak langsung, pelaku catcalling telah merendahkan harga diri dan martabat perempuan sebagai korban karena mereka telah dilecehkan secara visual dan verbal dengan "panggilan manja".Â
Hal tersebut juga dipengaruhi oleh budaya patriarkhi yang masih kental dalam masyarakat sehingga laki-laki merasa lebih berkuasa daripada perempuan dan laki-laki bebas melakukan apa saja terhadap perempuan termasuk melakukan pelecehan seksual.Â
Sebagian besar korban dari pelecehan seksual yaitu perempuan karena akibat dari kuasa laki-laki dalam budaya patriarkhi yang semena-mena memberlakukan perempuan. Persepsi seksual pelaku pelecehan seksual menentukan perilaku seksual mereka.
Sebuah penelitian yang dilakukan Cornell University menemukan bahwa 71 % perempuan menjadi korban pelecehan seksual di ruang publik pada tahun 2014. Korban catcalling rata-rata berusia 11 sampai 17 tahun. Bahkan 50 % dari korban pelecehan tersebut telah mengalami pelecehan fisik.Â
Selain itu, berdasarkan Survei Nasional 2018 Koalisi Ruang Publik Aman menemukan bahwa pelecehan seksual paling banyak dialami oleh perempuan yang memakai rok atau celana panjang yaitu sejumlah 17,47 %, selanjutnya yaitu baju lengan panjang 15,82 %, baju seragam sekolah 14,23 %, dan perempuan berhijab pendek/sedang 13,20 %.Â
Dari penemuan tersebut dapat dilihat bahwa korban pelecehan seksual yaitu dengan menggunakan pakaian yang menutupi tubuh, malah bukan yang terbuka atau transparan.
Di berbagai negara seperti Portugal, Amerika Serikat, Argentina, Kanada, Selandia Baru, Belgia, dan Filipina sudah ada hukum yang melindungi korban dari catcalling yang biasanya dengan membayar denda dengan jumlah yang besar bahkan hukuman penjara selama satu tahun.Â
Di negara-negara tersebut, pelaku catcalling sudah termasuk dalam pelaku tindak pidana sehingga dikenakan sanksi hukum yang telah diatur oleh negara.Â
Sementara, di Indonesia belum ada aturan hukum yang melindungi korban catcalling sehingga perempuan harus bisa menjaga dirinya sendiri. Di Indonesia, pelaku catcalling tidak dikenakan sanksi atau menjadi pelaku tindak pidana karena konteks catcalling itu sendiri yang berdasarkan pada tolok ukur kenyamanan dan pelaku catcalling belum menyentuh korban bahkan belum melakukan hal yang mengarah pada kekerasan seksual kepada korban sehingga catcalling masih dianggap penyimpangan yang bisa ditolerir.Â
Padahal catcalling merupakan langkah awal menuju pelecehan seksual yang lebih parah bahkan perkosaan atau kekerasan seksual sehingga catcalling merupakan bentuk pelecehan seksual yang harus diatasi agar pelaku jera dan tidak mengincar banyak korban lagi.Â
Berdasarkan pengamatan yang saya amati, bahkan saya sendiri pernah menjadi korban catcalling, beberapa perempuan jika dipanggil, disiul, atau digoda oleh laki-laki di tempat umum ia hanya diam tak acuh dan tetap melanjutkan aktivitasnya.Â
Sementara ada juga perempuan, termasuk saya, yang sangat merasa tidak nyaman dan merasa risih dengan godaan tersebut, maka korban memberanikan diri untuk memberi sanksi kepada pelaku berupa teguran agar mereka paham bahwa korban merasa risih dan memberitahu pelaku bahwa perilaku tersebut sudah termasuk dalam perilaku pelecehan seksual.
Terdapat beberapa dampak yang dirasakan korban catcalling yaitu trauma psikologis sehingga perempuan merasa takut untuk berpergian sendiri dan mereka merasa dirinya rendah.Â
Perempuan merasa insecure berada di ruang publik karena mereka khawatir kejadian catcalling terulang kembali pada dirinya. Berhubung perilaku catcalling merupakan bentuk pelecehan seksual yang masih asing dan belum disadari oleh masyarakat, maka orang-orang sekitar perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual catcalling tidak bisa menolong korban. Kurangnya pengetahuan akan pelecehan seksual seperti catcalling membuat perempuan semakin insecure jika berada di ruang publik sendiri.Â
Perlu adanya perluasan pengetahuan akan bentuk catcalling sebagai bentuk pelecehan seksual agar kita sama-sama menyadari dan dapat menolong perempuan di sekitar kita yang telah menjadi korban pelecehan seksual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H