Mohon tunggu...
Ewia Putri
Ewia Putri Mohon Tunggu... Penulis - seorang aktivis kemanusiaan konsen terahadap persoalan ekonomi, perempuan dan kemanusiaan

saya merupakan anak pertama dari 2 bersaudara, saya tamatan s2 magister ilmu ekonomi di universitas jambi, sekarang sedang senang2 menjadi pengamat dan penulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gaya dan Kebebasan: Sebuah Paradox

7 Agustus 2024   19:54 Diperbarui: 7 Agustus 2024   20:00 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gaya dan Kebebasan: Sebuah Paradox

by : Ewia Putri

Perempuan setiap saat selalu menjadi sorotan yang paling unik dibicarakan, tidak hanya tubuhnya namun gaya pakaiannya pun selalu menjadi sorotan. Gaya perempuan yang beragam membuat stereotip bahkan berbagai stigma yang turut melekat. Tidak heran bahkan gaya pakaian perempuan berkerudung pun memiliki keragaman. Hal ini mengiring perempuan sulit menentukan pilihan berpakaiannya sendiri hingga hilang keunikan masing-masingnya dan kehilangan kemerdekaan diri. Apakah ini salah? Tentu tidak, karena setiap pilihan tidak berdiri sendiri ada proses kognitif dan keyakinan.

Di tengah masyarakat yang terus berkembang, gaya berpakaian perempuan selalu menjadi topik yang hangat dibicarakan. Tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Setiap daerah, budaya, dan agama memiliki pandangannya sendiri mengenai bagaimana perempuan seharusnya berpakaian. Perempuan sering kali dihadapkan pada berbagai tekanan sosial untuk memenuhi standar tertentu. Misalnya, di beberapa negara Barat, pakaian yang terbuka dianggap lebih modern dan bebas, sementara di negara-negara dengan budaya Timur, pakaian yang lebih tertutup dan sederhana dianggap lebih sopan dan terhormat. Perbedaan pandangan ini sering kali menimbulkan stereotip dan stigma terhadap perempuan yang memilih untuk berpakaian berbeda dari norma yang berlaku.

Dalam masyarakat kita, perempuan berkerudung sering kali mendapatkan sorotan khusus. Ada yang melihatnya sebagai tanda kesalehan dan komitmen terhadap agama, namun ada juga yang melihatnya sebagai simbol penindasan. Keragaman dalam gaya berpakaian perempuan berkerudung sendiri sangat luas. Ada yang memilih kerudung yang sederhana dan konservatif, ada yang memilih gaya yang lebih modern dengan kombinasi busana yang modis. Semua ini menunjukkan bahwa tidak ada satu pun cara yang benar atau salah dalam berpakaian. Setiap pilihan adalah hasil dari proses kognitif dan keyakinan pribadi.

Namun, di balik keragaman ini, ada bahaya yang mengintai: internalized misogyny. Ini adalah fenomena di mana perempuan sendiri mulai mempercayai dan memperkuat pandangan misoginis yang ada dalam masyarakat. Misalnya, seorang perempuan mungkin merasa bahwa pilihannya dalam berpakaian adalah yang paling benar dan mulai mengkritik atau menyerang pilihan perempuan lain yang berbeda. Ketika ini terjadi, perempuan secara tidak sadar menjadi alat patriarki yang menahan perempuan lain untuk bangkit dan memiliki kemerdekaan diri. Tujuannya adalah untuk membuat perempuan semakin tertindas.

Menurut Dr. Kristin Neff, seorang psikolog dan peneliti terkemuka dalam bidang self-compassion, "Internalized misogyny terjadi ketika perempuan mengambil pesan-pesan seksis yang ada dalam budaya mereka dan menginternalisasikannya, lalu mengarahkan kebencian tersebut kepada diri mereka sendiri dan perempuan lainnya. Hal ini menghalangi solidaritas dan mendukung struktur patriarki yang ada."

Pendapat serupa disampaikan oleh Dr. Bell Hooks, seorang feminis dan penulis terkenal. Ia menekankan bahwa "Patriarki mengandalkan perempuan untuk mengawasi dan mengkritik satu sama lain. Ketika perempuan saling menyerang, itu memperkuat sistem penindasan yang ada dan menghalangi kemajuan menuju kebebasan dan keadilan gender."

Untuk mengatasi masalah ini, penting bagi perempuan untuk saling mendukung dan menghargai pilihan satu sama lain. Setiap perempuan memiliki perjalanan dan perjuangan yang berbeda-beda. Ada yang memilih berpakaian dengan cara tertentu karena keyakinan agama, ada yang karena alasan kenyamanan, dan ada yang karena preferensi pribadi. Semua pilihan ini sah dan harus dihargai.

Solidaritas antarperempuan adalah kunci untuk melawan patriarki dan internalized misogyny. Dengan saling mendukung, perempuan dapat memperkuat posisi mereka dan melawan struktur penindasan yang ada. Dalam hal berpakaian, ini berarti menerima dan menghormati keragaman pilihan yang ada. Jika kita melihat gaya yang berbeda dari kita, sebaiknya kita tidak terkejut atau menghakimi, karena semua itu sudah melewati proses dan pilihan masing-masing.

Penting juga untuk mendidik diri sendiri dan orang lain mengenai dampak dari internalized misogyny. Menyadari bahwa kritik terhadap pilihan berpakaian perempuan lain adalah bagian dari struktur patriarki yang lebih besar dapat membantu mengubah cara kita berpikir dan bertindak. Pendidikan dan kesadaran adalah langkah pertama untuk menciptakan perubahan yang nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun