Mohon tunggu...
Ewia Putri
Ewia Putri Mohon Tunggu... Penulis - seorang aktivis kemanusiaan konsen terahadap persoalan ekonomi, perempuan dan kemanusiaan

saya merupakan anak pertama dari 2 bersaudara, saya tamatan s2 magister ilmu ekonomi di universitas jambi, sekarang sedang senang2 menjadi pengamat dan penulis.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Gunung: Perjalanan Intelektual dan Spiritual

27 Mei 2024   21:48 Diperbarui: 6 Juni 2024   07:41 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bayangkan seorang profesor filsafat dan seorang pemanjat gunung profesional sedang berbincang-bincang di sebuah kafe yang trendi di kaki gunung. Profesor filsafat, dengan wajah serius, bertanya, "Pernahkah Anda berpikir bahwa gunung bisa menjadi tempat berkontemplasi yang sempurna? Banyak filsuf besar yang menemukan kebijaksanaan mereka di puncak gunung."

Si pemanjat gunung, sambil menyantap sandwich-nya, menjawab, "Ya, saya juga sering mendapatkan pencerahan ketika mendaki. Terutama saat saya tersesat tanpa sinyal GPS. Itu benar-benar momen paling filosofis dalam hidup saya!"

Keduanya tertawa, menyadari bahwa meskipun mereka datang dari latar belakang yang berbeda, ada satu kesamaan yang menyatukan mereka: gunung. Gunung bukan hanya sebuah tempat fisik untuk didaki, tetapi juga simbol dari perjalanan intelektual dan spiritual yang mendalam.

Dalam sejarah filsafat, gunung memiliki kedudukan yang sangat penting. Beberapa filsuf besar seperti Lao Tzu, Martin Heidegger, Ludwig Wittgenstein, dan Richard Sylvan, sengaja menyisihkan sebagian waktu mereka untuk berkontemplasi di daerah pegunungan. 

Lao Tzu percaya bahwa alam adalah guru terbesar manusia, dan ia sering menyendiri di pegunungan untuk menemukan kebijaksanaan. Lao Tzu pernah berkata, "The journey of a thousand miles begins with one step." Bagi Heidegger, pegunungan Schwarzwald menjadi tempat di mana ia dapat berpikir lebih mendalam dan merenung tentang keberadaan.

Dalam tradisi Timur, gunung juga memiliki makna spiritual yang mendalam. Para biksu Buddha sering mengasingkan diri di pegunungan untuk meditasi, dan dalam Taoisme, gunung dianggap sebagai tempat yang penuh dengan energi spiritual. Di Jepang, para samurai juga mencari pencerahan di pegunungan, memperkuat hubungan mereka dengan alam dan menemukan kedamaian batin.

Gunung telah menjadi tempat pengasingan diri yang ideal untuk melakukan berbagai aktivitas filosofis. Dimensi pengasingan ini juga terbentuk dalam proses pengembaraan, seperti yang terjadi dalam "Grand Tour," suatu aktivitas intelektual yang berkembang di Eropa pada abad ke-18 dan menjadi nenek moyang dari kegiatan-kegiatan pariwisata hari ini. 

Grand Tour adalah perjalanan panjang yang dilakukan oleh kaum muda aristokrat Eropa untuk mengeksplorasi seni, budaya, dan filsafat di berbagai negara. Dalam perjalanan ini, banyak dari mereka yang mendaki gunung dan menikmati keindahan alam sebagai bagian dari pencarian intelektual dan spiritual mereka.

Dari sini jelaslah bahwa pariwisata mulanya merupakan suatu kegiatan intelektual, dan perjalanan mendaki gunung pun berakar pada basis filosofis yang sama. Mendaki gunung bukan hanya sekadar aktivitas fisik, tetapi juga perjalanan menuju pencerahan intelektual dan spiritual.

Jika ditilik dari perspektif spiritual, mendaki gunung merupakan media mendekatkan diri pada Allah SWT. Mendaki gunung juga berarti mentadabburi manifestasi ilahi yang ada di bumi. 

Sebagai seorang Muslim, kita berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Al-Hadits. Firman Allah SWT di dalam Al-Qur'an ada yang berupa qauliyah (tersurat) dan kauniyah (tersirat). 

Salah satu bentuk ayat-ayat kauniyah-Nya ialah gunung. Gunung merupakan salah satu makhluk Allah yang patut untuk kita perhatikan. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman, "Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah menciptakan gunung-gunung, dan menjadikannya kokoh?" (QS. An-Naba': 6-7).

Jika kita menelusuri rekam jejak Rasulullah, beliau telah melakukan beberapa kali pendakian. Sebelum diangkat menjadi Rasul, Nabi Muhammad SAW memiliki kebiasaan naik-turun Jabal Nur untuk 'uzlah (mengisolasi diri) di Gua Hira. 

Kebiasaan Rasulullah mengisolasi diri di Jabal Nur ini dilakukan dalam rangka berkontemplasi, merefresh jiwa dan pikiran dari hiruk-pikuk peradaban kota Makkah. Di Gua Hira inilah, Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama dari Allah SWT, yang menandai awal dari misi kenabiannya.

Selain Jabal Nur, sejarah juga mencatat ada tiga gunung lain yang juga pernah didaki oleh Rasulullah. Di antaranya adalah Jabal Tsur, Jabal Uhud, dan Jabal Rahmah di Arafah. Jabal Tsur menjadi tempat persembunyian Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar dari pengejaran kaum Quraisy saat hijrah ke Madinah. 

Di Jabal Uhud, terjadi pertempuran besar antara kaum Muslimin dan Quraisy, di mana banyak sahabat Nabi yang gugur sebagai syuhada. Sementara itu, Jabal Rahmah di Arafah adalah tempat di mana Rasulullah menerima wahyu terakhir dari Allah SWT.

Ada catatan menarik dari Jabal Rahmah; gunung atau bukit ini merupakan tempat dipertemukannya Adam dan Hawa setelah ratusan tahun berpisah. Ini adalah simbol kuat tentang cinta dan pengampunan yang diberikan oleh Allah SWT kepada umat manusia. 

Saya jadi berpikir, betapa beruntungnya orang-orang yang menemukan pasangan hidup ketika mendaki gunung, sungguh definisi paripurna dari kisah cinta di jalan kenabian. Mereka yang mendaki gunung bersama, tidak hanya berbagi pengalaman fisik yang melelahkan tetapi juga perjalanan spiritual yang mendalam.

Dalam mendaki gunung, kita bukan hanya menghadapi tantangan alam, tetapi juga tantangan diri kita sendiri. Kita belajar tentang ketekunan, kesabaran, dan keberanian. Mendaki gunung adalah cara untuk memahami keterbatasan kita sekaligus mengatasi rasa takut dan ketidakpastian. 

Di puncak gunung, kita menemukan kedamaian dan kebijaksanaan yang sulit ditemukan di tempat lain. Di atas sana, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari, kita dapat menemukan diri kita yang sejati dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Sebagaimana Lao Tzu berkata, "Nature does not hurry, yet everything is accomplished." Dalam mendaki gunung, kita belajar untuk bergerak dengan ritme alam, menemukan kebijaksanaan dalam setiap langkah, dan menghargai setiap momen yang kita jalani. Gunung mengajarkan kita tentang kerendahan hati dan ketulusan, dua hal yang sangat penting dalam kehidupan spiritual.

Dengan demikian, mendaki gunung merupakan sebuah perjalanan intelektual dan spiritual. Sebuah perjalanan yang menghubungkan kita dengan alam, diri kita sendiri, dan Sang Pencipta. 

Dalam perjalanan ini, kita menemukan bahwa gunung bukan hanya sebuah objek alam, tetapi juga sebuah simbol dari perjalanan hidup kita. Setiap pendakian adalah sebuah pelajaran, setiap langkah adalah sebuah doa, dan setiap puncak adalah sebuah pertemuan dengan Yang Maha Kuasa.

Semoga kita semua dapat menemukan kedamaian dan kebijaksanaan dalam setiap pendakian yang kita lakukan, dan semoga perjalanan kita selalu diberkahi dan dilindungi oleh Allah SWT.

Oleh: Ewia Putri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun