[caption caption="kawah putih (dokpri)"][/caption]Para pecinta acara jalan-jalan pasti akrab dengan nama Bandung. Kota berjuluk Paris van Java ini memang memiliki daya tarik besar di hati para pelancong. Hawa yang dingin dan pemandangan alam yang menakjubkan merupakan anugerah tersendiri yang membuat orang untuk datang mencicipi keindahannya. Pada waktu liburan lalu, Bandung pun menjadi pilihan teratas sebagai destinasi wisata yang ingin saya kunjungi.
Kawah Putih menjadi tempat pertama yang tertulis dalam tujuan jalan-jalan saya kali ini. Terletak di kawasan Bandung Selatan, tepatnya di daerah Ciwidey yang berjarak sekitar 50 km dari pusat kota Bandung. Obyek wisata Kawah Putih merupakan danau yang terbentuk dari letusan Gunung Patuha.
Perjalanan dari Bandung menuju Kawah Putih terasa sangat menyenangkan bagi saya. Sajian pemandangan yang indah terpampang nyata di sepanjang jalan. Sawah yang berundak, kebun strawberry yang menggemaskan, dan jajaran pepohonan yang menjulang tinggi sontak menyegarkan mata saya yang terkantuk-kantuk akibat hembusan angin segar pendingin ruangan di dalam bus yang saya tumpangi.
Begitu bus tiba di area parkir obyek wisata Kawah Putih, hawa yang sejuk segera menyapa raga saya. Secara geografis kawasan ini berada di ketinggian 2400 di atas permukaan air laut sehingga suhu udara di Kawah Putih pun tak beranjak dari kisaran 8-22 derajat Celcius. Tak hanya kesejukan, rombongan pedagang makanan pun turut menyambut dengan hangat. Cilok, cireng, kue gandos, gorengan, dan aneka oleh-oleh khas Bandung yang terkenal enak itu pun terasa sangat menggoda selera.
Godaan dari pedagang makanan tadi tak seberapa besar dibandingkan godaan berupa pemandangan alam yang bakal tersaji indah di depan saya. Karena bus hanya boleh berhenti sampai di area parkir, maka segera saya menuju loket mobil ontang-anting da membeli tiket seharga Rp 13.000, 00 itu. Mobil ontang-anting inilah yang akan mengantarkan saya sampai ke danau Kawah Putih.
[caption caption="tiket ontang-anting (dokpri)"]
Begitu sampai di atas, segera saya menaiki undakan menuju danau Kawah Putih. Tak lupa saya kenakan masker untuk melindungi hidung dari bau belerang yang sangat kuat menyengat. Tak lama berjalan, sampailah saya pada sebuah danau berair kehijauan dikelilingi dengan tanah berwarna putih. Hutan alam yang ada di sekeliling danau pun berpadu harmonis dengan air danau yang konon bisa berubah warna sesuai dengan suhu dan kadar belerang yang terkandung di dalamnya. Keindahan panorama alam Kawah Putih terlalu sayang bila tak diabadikan. Jadilah saya menghabiskan waktu yang tak seberapa lama untuk memotret pahatan Tuhan yang menakjubkan ini.
Sayang sekali saya tak bisa berlama-lama di danau Kawah Putih. Papan peringatan yang ada di luar dengan jelas menginformasikan bahwa pengunjung hanya boleh berada di kawasan ini maksimal 15 menit. Bau belerang yang kuat menyengat hidung dapat membuat pengunjung yang terlalu lama berada di danau merasa pusing dan mual. Tak apalah, walau hanya sebentar berkunjung, namun hati merasa cukup puas menikmati segala keindahannya. Toh di luar kawasan danau saya dapat menikmati hiburan unik berupa senandung syahdu dari musik kecapi yang dibawakan oleh seorang bapak yang berada di sebuah gazebo.
[caption caption="saung angklung udjo (dokpri)"]
Dengan harga tiket Rp 60.000,00 di hari Senin – Jumat dan Rp 75.000,00 di hari Sabtu - Minggu, pengunjung akan mendapatkan fasilitas berupa welcome drink berwujud es potong warna-warni dan menonton pertunjukkan berupa tarian dan musik angklung yang dimainkan oleh murid-murid Mang Udjo yang bervariasi usianya mulai dari anak-anak hingga remaja. Selain memainkan angklung secara tradisional, mereka juga memadukannya dengan alat musik yang lain sehingga berbagai genre musik mulai dari pop hingga dangdut pun menyapa telinga pengunjung yang menatap penuh kekaguman.
[caption caption="bermain angklung (dokpri)"]
Dengan gerakan tangannya, sang dirigen memandu pengunjung membunyikan not do re mi fa so la si do secara bergantian. Tak lama kemudian para pengunjung yang memenuhi bangku di sekeliling panggung pun mampu memainkan instrumentalia berjudul Munajat Cinta karya Ahmad Dhani dengan indahnya. Ah, ternyata memainkan senandung cinta dengan angklung tak sesulit yang saya duga.
Puas bermain angklung para pengunjung mendapat kesempatan untuk maju ke panggung dan menari bersama, berbaur dengan para murid Mang Udjo dan pengunjung yang lainnya. Berbagai umbul-umbul besar penuh warna yang dibawa oleh para murid seakan ikut menyemarakkan suasana. Keakraban nan penuh gelak tawa pun sontak mewarnai panggung dan bangku pengunjung.Â
Pengunjung yang tak ikut turun untuk menari di panggung bertepuk tangan dengan riuh tatkala melihat para penari dadakan itu bergoyang dengan lincahnya. Sungguh, walau sejenak para pengunjung seakan terbuai untuk merasakan indahnya keakraban dan persaudaraan yang sulit terhapus dari memori.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H