In teaching you can not see the fruit of a day's work. It is invisible and remain so, maybe for twenty yearsÂ
(Jacques Barzun)
Kutipan bijak dari Jacques Barzun dapat dikatakan sangatlah tepat menggambarkan apa yang terjadi pada diri saya saat ini. Sejak memilih profesi guru sebagai panggilan jiwa, impian membuat murid-murid saya menggemari dunia membaca dan menulis tak pernah sedetik pun pudar dari pikiran. Boleh dikatakan impian ini semakin hari terasa semakin menggoda untuk diwujudkan.
Bukan semata idealisme yang mendorong saya melakukan tiap upaya demi upaya, namun kebahagiaan terbesar seorang guru adalah tatkala melihat murid mampu mengaktualisasikan segenap daya dan potensinya. Motivasi lain yang membuat saya begitu bersemangat mendorong murid-murid saya untuk menulis adalah tumbuhnya minat baca mereka yang luar biasa beberapa tahun terakhir ini.Â
Jika dahulu kebiasaan membaca adalah sesuatu hal yang langka, kini dengan mudah saya menemukan mereka sedang asik tenggelam dalam buku bacaan. Jika dahulu bermain game online lebih menggoda, kini mereka lebih memilih jalan sunyi berisi deretan aksara sebagai pengisi waktu luang. Jika dahulu hingar bingar mal menjadi daya tarik numero uno, kini lorong-lorong toko buku menjadi pilihan utama. Jika dahulu bintang pop Korea merupakan topik pembicaraan yang hits, kini Buya Hamka, Pramoedya Ananta Toer, Soekarno, HOS Tjokroaminoto, sampai dengan Sherlock Holmes menjadi bahan berdiskusi yang menyenangkan.
Beryukur, bersyukur, dan bersyukur. Tak pernah berhenti saya memanjatkan terima kasih atas apa yang terjadi. Sungguh tak mudah pada awalnya. Mengubah mindset sama sekali bukan perkara sepele, namun saya percaya hasil tak akan mengkhianati usaha. Apa yang diupayakan dengan sepenuh hati pada akhirnya akan menyentuh hati pula.Â
Setelah kebiasaan membaca yang baik terbentuk, tahap selanjutnya adalah mendorong mereka untuk menulis. Energi baru pun perlu saya curahkan untuk mewujudkan impian ini. Saya ajak mereka berbicara tentang program kerja, terutama bagi mereka yang ada di Bidang Bahasa OSIS SMPI Al Azhar 21 Solo Baru. Dari diskusi intensif kami berhasil menggulirkan ide untuk membuat produk literasi berupa blog, majalah, dan buletin.
Blog sederhana pun segera dibuat oleh salah satu pengurus OSIS bernama Dito yang memang memiliki keahlian di bidang IT. Kontributor yang bertugas menulis di blog OSIS pun dibuat jadwalnya secara bergiliran sehingga semua pengurus dapat merasakan sensasi menulis artikel yang ditayangkan secara berkala. Isi tulisan pun bervariasi tidak hanya reportase, namun juga opini dan profil para pengurus OSIS. Sampai sekarang blog ini masih aktif merekam semua kiprah murid dalam 31 tulisan menarik yang dapat disimak langsung di www.osissmpia21.blogspot.comÂ
[caption caption="biar diburu deadline, senyum tetap mengembang (dokpri)"]
Selain blog kiprah murid dalam menulis terwadahi dalam majalah sekolah. Majalah bernama Gallery 21 ini terbit tiap tahun di bulan Desember. Saat ini Gallery 21 sudah terbit sebanyak lima edisi. Tiap edisi mengupas tema yang berbeda-beda dengan porsi menulis yang semakin besar tersedia bagi murid. Tak hanya berperan sebagai penulis, kemampuan murid pun makin terasah karena mereka memiliki kesempatan untuk belajar mewawancarai narasumber, menuliskan liputan, mengedit tulisan, sampai dengan mendistribusikan majalah yang sudah jadi.
[caption caption="majalah sekolah kami (dokpri)"]
Sungguh saya sangat senang setiap kali melihat hasil karya mereka terbit. Lebih senang lagi saat melihat buletin yang dibagikan secara cuma-cuma tersebut mendapat apresiasi yang baik dari berbagai pihak, seperti sesama murid, guru, wali murid, pemasang iklan, dan pihak yayasan. Kalau sudah begini rasanya langsung lenyap segala lelah saat menyusun dan berkejaran dengan deadline.Â
Perasaan tidak mudah puas yang saya miliki rupanya menjangkiti sebagian murid saya. Bila bekerja bersama dalam sebuah tim jurnalistik mereka begitu digdaya, bagaimana rasanya mencoba menulis sebagai single fighter? Saya memberikan tantangan pada mereka untuk menulis atas nama pribadi dalam sebuah blog keroyokan seperti Kompasiana. Mengapa saya merekomendasikan Kompasiana karena besar peluang tulisan murid untuk dibaca dan mendapat masukan dari banyak orang. Saat itu saya masih melihat beberapa murid menunjukkan wajah bimbang. Keberanian mengekspresikan diri lewat tulisan dalam tim rupanya tidak selalu berbanding lurus dengan keberanian mengaktualisasikan diri secara personal.Â
Saya pun memahami keraguan mereka. Yang tak pernah putus saya lakukan adalah memberikan dorongan agar keberanian mereka dalam berekspresi lewat barisan kata muncul. Tak hanya memberikan motivasi, sebisanya saya mencoba memberikan contoh nyata dengan menulis dan terus menulis. Seringkali saya ceritakan pada mereka asiknya menulis secara pribadi. Selalu berbinar mata saya kala bercerita tentang kepuasan batin yang didapat dari menulis. Terlebih bila tulisan dapat membuat orang lain terinspirasi. Wah, itu menjadi kebahagiaan yang tak mungkin terbeli dengan uang.Â
Perlahan namun pasti kini satu per satu murid pun mulai tertarik menjajal kemampuanya dalam berolah aksara di Kompasiana. Mereka memiliki minat untuk menuliskan tema yang berbeda-beda. Ada yang sangat menggemari politik hingga sastra. Tak mengapa, bagi saya remaja seperti mereka berani mengambil langkah untuk menulis itu sudah sangat luar biasa. Siapa saja mereka? Mari saya perkenalkan satu per satu.
Remaja 14 tahun ini sejak awal memang menunjukkan ketertarikan yang sangat tinggi pada buku. Segala macam jenis buku dilahapnya, mulai dari buku motivasi hingga politik. Jika kini dia lebih intens bergelut dengan buku-buku bergenre politik, tentunya itu tidak terlepas dari kekagumannya pada sosok Soekarno. Tak heran jika penggemar karya Pramoedya Ananta Toer ini lebih sering menulis artikel tentang politik.Â
Pemikirannya termasuk kritis jika dibandingkan anak seusianya. Kalau tidak mengenal sosoknya, bisa jadi pembaca mengira sang penulis adalah orang dewasa. Dari empat karya yang telah dihasilkannya, sebanyak satu kali tulisannya menembus headline dan empat kali menjadi tulisan pilihan. Lebih dari 3400 orang pernah membaca buah pikirannya. Sebuah awal yang menggembirakan tentu saja.
[caption caption="tulisan Shoma menembus headline (dokpri)"]
Sebagai gurunya saya berharap Shoma selalu konsisten dalam berkarya dan tetap rendah hati untuk menerima segala masukan demi perbaikan-perbaikan bagi karya selanjutnya.Â
Duduk di bangku kelas 7 sekolah menengah pertama tak membuat Fandy merasa gentar untuk mengaktualisasikan potensinya. Kegemarannya pada dunia membaca rupanya menjadi dasar yang bagus untuk mengembangkan diri dalam menuliskan karya. Keinginan menjadi seorang penulis besar yang mencatatkan namanya dalam sejarah selalu menggoda hatinya. Kritisnya pemikiran Fandy juga menjadi dasar yang bagus dalam memilih tema menulis. Dari tiga tulisan yang telah dihasilkan, semua berawal dari kegelisahannya tentang segala sesuatu yang terjadi di masyarakat, seperti masalah pendidikan dan masalah generasi muda yang apatis. Tulisan Fandy termasuk menarik. Buktinya ada satu dari tiga karyanya yang dipilih admin menjadi tulisan pilihan.
Walupun tulisannya belum pernah mendapat predikat headline, namun bagi Fandy berkarya secara konsisten itulah yang terpenting. Terus mengasah diri hingga impian ada dalam genggaman menjadi pendorongnya untuk tetap menulis dan menulis.
Memiliki hobi membaca buku filsafat, remaja 13 tahun ini rupanya merasa tertantang ketika melihat satu per satu kawannya mulai menghasilkan karya. Berbekal keinginan mendokumentasikan pertemuannya dengan sang idola, Najwa Shihab, Chulia pun menuliskannya dalam sebuah artikel berjudul Benteng Vastenburg, I'm in Love.Â
Gaya menulis model bercerita rupanya sangat menarik perhatiannya. Hal ini tak lepas dari perannya dalam tim buletin sekolah sebagai pengelola rubrik reportase. Meskipun demikian Chulia bertekad untuk dapat meningkatkan kemampuannya dalam menulis sehingga akan lahir karya demi karya dengan aneka rasa yang berbeda.
Sejak awal Syifa sangat menggemari dunia fiksi. Hal ini dapat dilihat dari rekam jejaknya yang sering mewakili sekolah dalam berbagai perlombaan menulis cerpen baik di tingkat kabupaten maupun saat mengikuti Unjuk Kreasi Al Azhar antar murid SMPI Al Azhar se-Indonesia di Summarecon beberapa waktu yang lalu.Â
Prestasi demi prestasi berhasil diraihnya dalam ajang lomba menulis cerpen. Hal inilah yang membuat remaja 14 tahun ini begitu getol menggeluti dunia cerita. Meskipun demikian Syifa tak membatasi kemampuannya, terbukti sebuah puisi cantik yang bercerita tentang impiannya untuk membuat sebuah buku sastra sebelum usia 25 pun terpajang sebagai salah satu karyanya.
Jika menyimak kiprah murid dalam menulis, rasa bangga selalu terukir di benak saya. Meskipun demikian perjuangan belum usai. Konsistensi saya dan mereka dalam berkarya menjadi tantangan tersendiri. Tidak mudah, namun juga bukan mustahil untuk mewujudkan mimpi menjadi nyata. Mungkin bukan sekarang, tapi suatu hari saya yakin akan melihat nama mereka terukir indah dalam sejarah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H