Mohon tunggu...
Evrisya Glorys
Evrisya Glorys Mohon Tunggu... -

Seorang sarjana Psikologi, lulusan Universitas Sanata Dharma ditahun 2013.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyoal Fenomena "Mom Shaming"

6 September 2018   15:19 Diperbarui: 6 September 2018   16:17 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjadi ibu adalah impian banyak wanita yang sudah menikah. Akan tetapi, ada kalanya hamil, melahirkan dan merawat bayi  menjadi masa di mana stress mulai melanda. 

"Hamil kok badannya kecil, nanti anaknya kurang gizi tuh di dalam". Atau " melahirkan kok pilih operasi, cari gampang ya nggak mau nahan sakit ya?" Bahkan "bayi kok minumnya pakai dot, isinya susu formula ya? Malas nyusui ya!"

Ada juga "kok anaknya nggak diberi mpasi home made, ibunya pemalas banget ". Dan masih banyak lagi. Mungkin banyak ibu yang pernah mengalami hal ini. Perundungan bukan hanya milik remaja yang notabennya masih labil. Makin hari ibu-ibu jadi korban Mom Shaming, di mana pelakunya juga seorang ibu. 

Miris bukan, di mana sekelompok ibu yang tidak berempati pada ibu lain. Jaman sekarang dan mungkin dulu fenomena Mom Shaming ini sudah ada. Para ibu pelaku Mom Shaming umumnya tidak dapat berempati pada situasi yang dialami ibu lain. 

Penyebabnya, rasa rendah diri, cemburu, rasa lelah, kurang diperhatikan, dan pernah menjadi korban Mom Shaming yang gagal menyikapi secara positif perundungan yang pernah dialami. 

Setiap kondisi ibu tidak bisa disama ratakan. Kondisi berbeda membuat ibu akan mengambil keputusan berbeda juga. Pelaku Mom Shaming jelas tidak memiliki empati karena dia tidak  berpikir mengapa seorang ibu memilih pola tertentu.

 Minimnya belajar menerima hal baru juga menjadi pemicu ibu-ibu menjadi pelaku Mom Shaming. Misal ketidak tahuan mengapa ibu lain melahirkan melalui tindak operasi, bukan melulu karena malas menahan sakit. 

Melainkan kondisi fisiologis ibu yang tidak memungkinkan melahirkan secara normal. Atau bicara tentang bahwa orang hamil harus makan dua kali lilat lebih banyak, aduh teori dari mana itu? Bukankah konsumsi makan ini hamil harus lebih memperhatikan nutrisinya ketimbang jumlahnya ya? Lain halnya ibu yang gemar mengkritik posisi menggendong, posisi makan, posisi tidur bayi, dan lain sebagainya. 

Percayalah naluri ibu tidak akan mencelakan anaknya. Sebenarnya tidak salah memberi kritik, akan tetapi alangkah baiknya kalau semua itu ada dasarnya agar ibu baru juga lebih paham. Bukan hanya komentar tanpa memikirkan perasaan ibu lain yang tanpa disadari berpengaruh pada kondisi psikologis sang ibu, seperti rasa malu, menjadikan ibu lain memiliki konsep diri negatif atau bahkan rasa tidak berdaya. 

Bahayanya kalau ibu, korban Mom Shaming tidak memiliki coping stress yang baik, dia bisa menjadi pelaku Mom Shaming dikemudian hari. Sungguh tidak akan berujung, jika kita semua tidak belajar berempati pada sesama. Sudah saatnya kita memutus mata rantai perundungan pada sesama ibu, bukankah sesama ibu seharusnya saling memberi dukungan sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun