Semakin hari angka KDRT di Indonesia semakin meningkat. Alasannya beragam, seringnya anggota keluarga bercekcok akibat permasalah ekonomi, perselingkuhan, dan lain sebagainya. Namun, pernahkah kita berpikir apa KDRT bisa dengan mudah terjadi hanya karena terlalu seringnya anggota keluarga bertengkar? Pernah tidak kita berpikir ada faktor lain yang mempengaruhi seseorang mudah sekali melakukan tindak kekerasan? Coba, apakah pernah mendengar seperti ini:
"Kamu harus selalu memang ya, jangan mau kalah sama dia," ujar seorang ibu pada anaknya. Atau begini " awas kalau kamu nggak balas temanmu kalau dipukul, malah kamu nanti yang Mama pukul."
Ucapan orang tua yang katanya dianggap sebagai bentuk pengajaran untuk menumbuhkan anak menjadi pribadi yang tangguh dan bermental pemenang.
Biasanya anak melakukannya karena takut atas ucapan orang tuanya, yang dianggapnya adalah ancaman. Padahal, bukankah itu sama saja menanamkan pada diri anak bahwa semua harus diselesaikan dengan kekerasan. Membentuk anak menjadi agresif. Di lain sisi, anak menjadi tersulut emosinya jika dia merasa belum menang.Â
Batasan apa yang dimaksudkan menang kalah dalam konteks anak-anak? Apa harus membuat lawannya tergolek tak berdaya untuk bisa dikatakan pemenang?Â
Hal-hal seperti inilah yang tertanam dipikirkan anak bahwa segala sesuatu harus ia menangkan. Pola pikir seperti ini yang dibawanya sampai kehidupan pernikahan. Dimana setiap ada percecokan dalam rumah tangga, prinsipnya dia harus menang. Apapun caranya, termasuk melakukan kekerasan sekalipun.
Kekerasan yang dilakukan bisa verbal maupun fisik. Pokoknya harus menang dari istri/suami/anak. Melihatnya anggota keluarga yang dianggap bermasalah dengannya tak berdaya adalah bentuk kemenangannya
Secara umum, pelaku KDRT memiliki ketidakmatangan secara sosial dan emosi. Sedangkan matang tidaknya sosial emosi seseorang bisa terbentuk dari pola asuh di masa kecil, tingkat pendidikan, dan pengalaman. Dengan begini, emosi negatif pelaku KDRT memang lebih mudah untuk dilampiaskan. Apalagi jika istri/suami/anak dianggapnya sebagai ancaman.
Hal lain yang membuat pelaku melakukan KDRT adalah pengalaman masa lalu. Misalnya di masa kecil dia melihat orangtua yang melakukan tidak kekerasan dan dianggapnya itu benar. Maka, ditirulah karena ia menilai untuk menjadi menang haruslah dengan mengalahkan lawannya kita secara verbal atau pun fisik. Atau dia sendiri adalah korban KDRT dari orangtuanya dulu.
Sebenarnya orang tua sungguhlah memiliki peran penting dalam pertumbuhan anak. Tidak melulu membuat anak pandai secara kognitif dengan mengabaikan aspek sosial emosinya. Tidak lupa juga, anak-anak itu melihat apa yang orangtuanya lakukan. Orang tua adalah subjek modelling-nya. Dengan begitu, pola asuh yang kita terapkan pada anak akan mempengaruhi perilakunya dalam kehidupan sosialnya dimasa yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H